[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance alias Indef Tauhid Ahmad mengatakan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN harus dikaji ulang, bahkan dibatalkan, sampai kondisi perekonomian Indonesia benar-benar pulih.
“Sampai 2022 bahkan 2023 kita masih periode pemulihan ekonomi dan belum tahu kapan Covid-19 selesai. Saya kira itu harus menjadi hal kritis, jangan sampai di tengah situasi ini justru memancing di air keruh, sehingga masyarakat yang dirugikan,” ujar Tauhid dalam konferensi video, Selasa, 11 Mei 2021.
Tauhid mengatakan sampai saat ini tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Khususnya, dengan pergerakan kasus penyebaran Covid-19 di dunia yang sampai saat ini tidak bisa diperkirakan. “Kami merasa itu mengkhawatirkan.”
Kondisi pandemi yang belum menunjukkan penurunan, menurut dia, juga menambah beban cukup besar ke perekonomian. Dengan situasi tersebut, ia menilai rencana kenaikan PPN bisa menjadi persoalan yang serius.
Situasi pandemi itu pun nantinya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tauhid mengatakan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,8 persen di 2022. Namun, ia meyakini angka tersebut bisa direvisi lagi, baik positif atau negatif tergantung perkembangan vaksinasi.
“Pada 2022 kita belum pulih kenapa dibebankan dengan katakanlah kenaikan pajak yang menurut saya sangat bertentangan dengan teori ekspansi fiskal. Bukannya relaksasi pajak tetapi justru katakanlah dibebani dengan pajak yang menurut saya masih bisa kita hindarkan,” ujar Tauhid.
Meskipun demikian, sebagai rencana pemerintah, ia menilai perlu ada transparansi bagaimana gagasan dan simulasinya, siapa saha yang terkena dampak, dan bagaimana skenarionya. Hal itu, kata dia, harus digaungkan dan publik harus tahu.
“Apakah ini bisa menguntungkan atau merugikan khususnya bagi masyarakat bawah Dan skenario apa yang disampaikan pemerintah itu memang sampai sedetail-detailnya, bagi pengusaha, konsumen, dan sebagainya, sehingga bisa memahami,” tutur Tauhid.
Kalau lebih banyak mudaratnya, Tauhid menyarankan rencana itu dibatalkan atau ditunda kenaikannya. “Sebelum ditetapkan, wacana ini harus terus digaungkan dan mendapat sorotan banyak pihak. Mudah-mudahan ini untuk kebaikan kita semua.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) masih dalam pembahasan pemerintah.
“Ini juga dikaitkan dengan pembahasan undang-undang (UU) yang diajukan ke DPR, yaitu RUU KUP (Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),” katanya pada konferensi pers virtual, Rabu, 5 Mei 2021.
Mengacu kepada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan. UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN 10 persen. Dampaknya tentu akan ada pada kenaikan harga barang dan jasa.
Discussion about this post