[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar angkat bicara menanggapi pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Ia menyebutkan pengesahan beleid itu bakal BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit seiring adanya potensi penurunan iuran dari pekerja.
Timboel menjelaskan, poin pertama yang rawan membebani program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah kemudahan dunia usaha dalam merekrut pekerja kontrak dan outsource. Hal tersebut kemudian disertai dengan longgarnya kewajiban untuk mengangkat mereka menjadi pegawai tetap.
Kondisi itu, menurut Timboel, rawan menimbulkan praktik pemutusan kontrak atau pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerja. Bila itu terjadi, besar kemungkinan para pekerja menunggak iuran atau bahkan berhenti mengiur saat terkena pemberhentian kerja.
“Universal health coverage JKN akan terancam. Kalau banyak yang kena PHK belum tentu dia menjadi peserta mandiri, bisa jadi malah berhenti (membayar) iuran,” ujar Timboel.
Timboel menilai hal tersebut dapat memperparah situasi saat ini karena masih banyak pekerja kontrak dan outsource yang tidak didaftarkan pemberi kerjanya ke program JKN. BPJS Kesehatan mencatat bahwa per 31 Agustus 2020 terdapat 37,36 juta peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), dengan jumlah angkatan kerja saat ini mencapai 137,91 juta.
Ketidakpastian kerja bagi masyarakat pun dinilai dapat membahayakan kepastian jaminan sosial yang berkelanjutan. Hal itu tak hanya berisiko bagi para pekerja tetapi juga bagi negara, karena akan menyangkut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Selain itu, poin lainnya dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang berisiko bagi JKN adalah penetapan upah standar oleh pemerintah daerah. Dalam RUU tersebut, pemerintah daerah dapat menentukan upah pekerjanya untuk mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Oleh karena itu, menurut Timboel, ada kemungkinan pemerintah daerah akan mengacu ke besaran upah yang terkecil. Dia mengibaratkan pemerintah Kabupaten B yang semula memiliki UMK Rp 4,5 juta kemudian akan mengacu ke UMP yang senilai Rp 2 juta.
Bila hal itu terjadi, meski pekerja eksisting tidak akan dipangkas gajinya, tetapi upah yang lebih kecil berpotensi diterapkan kepada pekerja baru. Selain itu, ada risiko PHK pekerja lama agar bisa digantikan oleh pekerja baru dengan upah lebih rendah.
Dengan begitu, menurut Timboel, perolehan iuran dari segmen PPU akan berkurang, karena besaran iuran dihitung berdasarkan persentase terhadap gaji. Kondisi itu menjadi penting karena segmen PPU merupakan sumber iuran terbesar kedua setelah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari uang negara.
“Kalau upah minimum turun kan berarti perolehan iuran PPU akan turun, sedangkan pembiayaan kesehatan kan tetap tinggi karena bergantung kepada inflasi dan sebagainya. Artinya kan bisa terjadi defisit,” ujar Timboel.
Atas sejumlah alasan itu, menurut Timboel, pemerintah harus mempertimbangkan dengan benar-benar matang dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja terhadap keberlangsungan JKN. Aturan yang ada menurutnya harus berpihak kepada masyarakat banyak, bukan hanya dari sisi perekonomian tetapi juga jaminan sosial yang bersifat fundamental.
Potensi terjadi defisit besar, kata Timboel, karena pemasukan nomor duanya turun, peserta berpotensi berkurang. “Jangan sampai tahun ini surplus Rp 2,5 triliun tapi setelahnya (RUU Cipta Kerja) berlaku jadi defisit lagi.”(msn)
Discussion about this post