Darussalam, SE, Ak, M.Si, LL.M Int. Tax dan Danny Septriadi, SE, M.Si, LL.M Int. Tax
Danny Darussalam Tax Center
Kalau kita perhatikan pemberitaan di berbagai media masa tentang proses pembahasan RUU pajak, terdapat kesan bahwa seolah-olah yang paling berkepentingan dalam penyusunan RUU pajak adalah pemerintah dan para pengusaha saja. Perdebatan lebih sering berkisar pada kepentingan kedua belah pihak. Padahal di luar pemerintah dan pengusaha tersebut, terdapat lapisan masyarakat pembayar pajak lainnya yang juga berkepentingan terhadap RUU pajak, misalnya orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaannya sebagai karyawan yang selama ini dikenakan PPh Pasal 21. Pertanyaannya adalah apakah kepentingan para karyawan tersebut sudah terwakili dalam proses penyusunan RUU pajak?
Ketidakadilan
Berdasarkan teori keadilan horisontal, pajak harus dipungut berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) Wajib Pajak, atau dengan kata lain pajak dikenakan atas dasar penghasilan neto. Dengan demikian, penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi faktor pengurang penghasilan kena pajak yaitu biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Berdasarkan ketentuan PPh yang berlaku saat ini, Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bekerja sebagai karyawan diberikan keringanan pajak (tax relief) berupa pengurang penghasilan kena pajak ”hanya” sebatas atas: (i) penghasilan tidak kena pajak (personal exemption), dan (ii) pengurangan pajak (tax deduction) berupa biaya jabatan, pensiun, premi jamsostek, dan iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disyahkan oleh menteri keuangan, dengan jumlah yang dibatasi pula. Salah satu alasan yang mendasari pembatasan tersebut adalah penyederhanaan pemungutan pajak agar Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja sebagai karyawan tidak perlu membuat catatan pengeluaran atau biaya hidup.
Secara teoritis, keringanan pajak yang dapat diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja sebagai karyawan bisa berbentuk adjustments, deductions, exemptions, allowances, dan credits (Janet Stotsky, 1995). Demikian pula pengeluaran atau biaya hidup karyawan seperti biaya pendidikan, biaya transportasi, biaya kesehatan, biaya bunga pinjaman bank untuk pembelian rumah dapat saja melebihi batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Pembatasan biaya yang diperbolehkan sebagai faktor pengurang penghasilan kena pajak seperti tersebut di atas tentu menimbulkan ketidakadilan. Misalnya dalam kasus seorang karyawan yang tinggal di daerah Tangerang yang berkantor di daerah Sudirman Jakarta mempunyai faktor pengurang penghasilan kena pajak yang sama besarnya dengan karyawan yang tinggal di daerah Setiabudi yang juga bekerja di daerah Sudirman Jakarta, yaitu sama-sama sebesar PTKP yang dalam RUU diusulkan sebesar Rp 1 juta per bulan. Padahal biaya transportasi di antara mereka jelas berbeda. Demikian pula apabila dalam suatu keluarga ada yang anaknya menderita gangguan kesehatan, sehingga memerlukan biaya pengobatan yang lebih besar, juga mempunyai faktor pengurang penghasilan kena pajak yang sama dengan keluarga yang tidak mempunyai masalah kesehatan terhadap anaknya, yaitu sama-sama sebesar PTKP.
Terlebih lagi dalam kasus pemajakan atas penjualan rumah yang dimiliki oleh karyawan yang tidak memperhatikan tingkat inflasi yang terjadi. Misalnya, dengan alasan lokasi rumah yang terlalu jauh dari lokasi kerja, seorang karyawan menjual rumahnya untuk dibelikan lagi sebuah rumah yang dekat dengan lokasi kerja. Misalkan rumah yang dibeli pada tahun 2000 dengan harga Rp 250 juta dijual dengan harga Rp 300 juta pada tahun 2005. Berdasarkan ketentuan PPh yang berlaku saat ini, PPh final yang terutang adalah sebesar 5% x Rp 300 juta (asumsi harga jual sama dengan nilai jual objek pajak) = Rp 15 juta. Kemudian karyawan tersebut ingin membeli rumah dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya yaitu yang senilai Rp 300 juta. Akan tetapi, sayang uang yang dimiliki sekarang hanya tersisa Rp 285 juta karena telah dipotong pajak sebesar Rp 15 juta, sehingga dia tidak mampu lagi memiliki rumah dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Atas penjualan rumahnya, sebenarnya karyawan tersebut justru mengalami kondisi yang semakin jelek (better-off) karena dikenakan pajak tanpa mempertimbangkan faktor inflasi yang terjadi. Di banyak negara, pemajakan atas keuntungan penjualan rumah tersebut biasanya disesuaikan dengan tingkat inflasi (indexation inflation), bahkan di beberapa negara tidak mengenakan pajak atas penjualan rumah yang dimiliki dan ditempati oleh orang pribadi yang hanya memiliki satu-satunya rumah yang bukan sebagai investasi.
Biaya Hidup
Dengan adanya kewajiban pelaporan biaya hidup yang harus dilampiri dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak orang pribadi seperti yang diusulkan oleh pemerintah dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka setiap karyawan diharuskan untuk membuat catatan tentang perincian biaya hidup. Tetapi anehnya, ”kewajiban” untuk melaporkan biaya hidup tidak diikuti dengan ”hak” karyawan untuk memperhitungkan biaya hidup tersebut (dengan pembatasan tertentu) sebagai faktor pengurang penghasilan kena pajak. Jadi, patut dipertanyakan maksud dari kewajiban untuk melaporkan biaya hidup tersebut dalam SPT Wajib Pajak orang pribadi.
Source: ortax.org
Discussion about this post