[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) tanggal 18 dan 19 Juli 2019 telah memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,75%. RDG BI juga memutuskan untuk memangkas suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,50%. Setidaknya terdapat dua alasan RDG BI mengambil keputusan tersebut. Pertama karena inflasi nasional yang masih terkendali, dan kedua BI berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu.
Faktor eksternal (baca: ketidakpastian global) masih menjadi pemicu utama perlambatan ekonomi Indonesia. Masalah geopolitik di Timur Tengah, khususnya ketegangan Iran dan Amerika Serikat (AS) serta gonjang-ganjing perang dagang China dan AS yang terus berlanjut menambah kelesuan ekonomi dunia. Fakta tersebut tercermin dari publikasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2019 menjadi 3,2% (dari sebelumnya 3,4%) dan kembali merevisi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020 menjadi 3,5% (dari sebelumnya 3,7%).
Revisi yang sama juga dilakukan terhadap pertumbuhan ekonomi AS dan China sebagai dua raksasa ekonomi dunia. Perekonomian AS diprediksi akan tumbuh pada kisaran 2,6% tahun ini, dan cenderung menurun hingga kisaran 1,9% di tahun 2020. Kondisi serupa juga dialami China. IMF memrediksi perekonomian Negeri Panda tersebut turun ke angka 6,2% tahun ini dan cenderung menurun hingga kisaran 6% pada tahun 2020.
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasar prognosis Badan Anggaran DPR RI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 diprediksi sebesar 5,2% (dari sebelumnya 5,3%). Sementara itu, BI meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 bergerak pada rentang 5,1% – 5,5%.
Data di atas menunjukkan adanya efek penularan turbulensi global terhadap perekonomian Indonesia. Hal itu menjadi tantangan tersendiri apabila diselaraskan dengan visi ekonomi Indonesia tahun 2045, yang menargetkan Indonesia masuk dalam kelompok negara ekonomi lima besar dunia (Pendapatan Domestik Bruto/PDB mencapai US$ 7,3 triliun dengan pendapatan perkapita sebesar US$ 25.000).
Artikel ini menganalisis berbagai kompleksitas pencapaian visi ekonomi tersebut melalui perspektif makro, khususnya isu pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global saat ini. Terdapat tiga dimensi waktu yang dikaji dalam perpektif pertumbuhan ekonomi tersebut, yaitu jangka pendek (mendorong pertumbuhan), menengah (menciptakan pertumbuhan berkualitas), dan panjang (mengupayakan pertumbuhan berkualitas yang berkelanjutan).
Peran Negara
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya menggambarkan perubahan produk domestik bruto (PDB) suatu negara dari tahun ke tahun. Sementara PDB sendiri mencerminkan seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dihasilkan suatu negara dalam wilayah geografisnya. Jika BI, Kemenkeu, hingga IMF memrediksi adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, maka dapat diartikan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, produksi barang dan jasa suatu negara akan menurun (bisa disebabkan oleh turunnya daya beli maupun rendahnya nilai ekspor).
Penurunan daya beli dan ekspor akan memicu permasalahan ekonomi di suatu negara. Mengapa bisa demikian? Daya beli dan ekspor yang rendah secara tidak langsung menurunkan keuntungan industri karena omzet penjualan menurun sehingga mendorong pemangkasan produksi.
Pemangkasan produksi barang dan jasa akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja (efisiensi biaya produksi). Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan masalah sosial di suatu negara. Sebagai contoh, berbagai permasalahan sosial di Venezuela hari ini berawal dari akumulasi sejumlah permasalahan ekonomi di negara tersebut pada tahun-tahun sebelumnya.
Bagaimana peran negara? Negara memegang peran kunci dalam hal ini karena segala kebijakan berasal dari pemerintah, termasuk di dalamnya kebijakan ekonomi yang akomodatif (fiskal, moneter, dan makroprudensial lainnya). Pemerintah wajib memiliki tim ekonomi yang kuat, yang dapat merespon segala perubahan dengan cepat (dan tentunya tepat).
|
Indonesia setidaknya memiliki empat lembaga terkait dengan masalah ini, yaitu Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keempat lembaga tersebut bersinergi untuk menjaga stabilitas makro ekonomi Indonesia, baik di pasar uang maupun di pasar modal.
Respons BI dua minggu lalu dengan menurunkan suku bunga acuan BI7DRR merupakan salah satu kebijakan untuk menjaga perekonomian Indonesia melalui pelonggaran moneter di tengah ketidakpastian global. Logikanya, ekonomi dunia yang melambat berpotensi menurunkan nilai ekspor kita.
Jika ini terus terjadi, maka defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) akan melebar dan berpotensi menggoyang rupiah (IDR) ke nilai yang lebih rendah (depresiasi). Depresiasi akan menurunkan daya beli karena harga barang dan jasa menjadi mahal (inflasi meningkat). Hal ini akan semakin parah apabila kebutuhan dalam negeri banyak dipenuhi dari impor (yang diukur dengan IDR/USD) seperti kita saat ini.
Inilah permasalahan kompleks yang sedang dihadapi negara-negara di dunia saat ini, tidak hanya Indonesia. Setiap negara berusaha mengamankan perekonomian makronya dengan beragam cara, termasuk melakukan pelonggaran moneter melalui perubahan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan umumnya akan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga diharapkan dapat menggerakkan sektor riil dan mendorong aktivitas ekonomi (karena biaya modal perusahaan menurun).
Indonesia masih boleh sedikit lega karena pertumbuhan ekonominya di atas rerata pertumbuhan ekonomi dunia dengan nilai tukar yang cenderung stabil, inflasi yang terkendali, likuiditas yang mencukupi, rasio utang luar negeri yang terjaga, dan risiko kredit yang baik.
Namun, jika turbulensi global ini tidak direspon dengan baik bukan tidak mungkin Indonesia berpotensi menghadapi masalah yang serius karena kecenderungan arus modal keluar di negara kita relatif masih tinggi. Selain itu, risiko yang mungkin timbul akibat potensi overinvestment di tengah kelesuan ekonomi global juga perlu mendapat perhatian tersendiri.
Analisis ini menunjukkan beberapa poin penting yang perlu diperkuat pemerintah dari sisi pertumbuhan ekonomi, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Pertama, dari sisi neraca berjalan, perlu upaya secara konsisten untuk menyeimbangkan ekspor dan impor sehingga CAD dapat dipersempit.
Kedua, dari sisi kebijakan moneter, fiskal, dan makroprudensial, diperlukan konsentrasi tinggi dalam mengupayakan berbagai kebijakan untuk memitigasi potensi risiko ketidakseimbangan keuangan (financial imbalances), menjaga iklim investasi, dan meminimalisir risiko sistemik intersektoral.
Ketiga, dari sisi neraca modal, diperlukan upaya berkelanjutan untuk menjaga dan memperkuat keseimbangan arus modal masuk dan keluar. Penekanan pada ketiga poin tersebut dikarenakan interkoneksi antarpasar keuangan dan perekonomian dunia saat ini sudah tidak mengenal batas (borderless), sehingga berkontribusi mempercepat efek penularan ekonomi antar negara dan mengancam stabilitas perekonomian.
Kompleksitas permasalahan di atas membuat pemerintah sulit mengembangkan kebijakan-kebijakan yang terlalu agresif (baca: menyerang) dalam jangka pendek. Pilihan bertahan dengan perhitungan yang terukur melalui sejumlah kebijakan yang responsif akan lebih baik agar tidak keliru dalam merespons turbulensi ekonomi global. Kebijakan yang terlalu agresif berpotensi meningkatkan risiko sistemik apabila tidak diikuti dengan roadmap (peta jalan) antisipasi yang matang. Terlalu defensif juga tidak baik karena berpotensi menggerus pertumbuhan kita. Harus ada upaya-upaya jangka pendek, menengah, dan panjang untuk merespons kompleksitas tersebut.
Respons yang cepat (dan tepat) berupa kebijakan-kebijakan yang bersifat mendorong pertumbuhan ekonomi perlu diprioritaskan dalam jangka pendek ini. Penurunan suku bunga acuan BI dua minggu lalu merupakan pelonggaran moneter yang tepat dalam merespons gejolak global saat ini. Selain itu, BI juga terus berupaya memperkuat operasi moneter (memastikan ketersediaan likuiditas) serta transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif, termasuk kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita perlu mengapresiasi upaya-upaya yang telah diambil BI tersebut dan berharap dalam waktu yang tidak telalu lama, efek positif dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat dirasakan.
Kesigapan pemerintah dalam merespons berbagai turbulensi jangka pendek ini menambah kepercayaan pasar bahwa gejolak tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan mendarat dengan sempurna. Lalu apa yang harus dilakukan setelahnya? Ingat bahwa 2045 bukanlah waktu yang lama. Visi ekonomi menjadi lima negara dengan ekonomi terbesar pada tahun tersebut bukanlah hal mudah jika tidak direncanakan dengan baik sejak sekarang.
Berkualitas
Pertumbuhan yang tinggi apabila telah terwujud perlu dilanjutkan dengan pertumbuhan tinggi yang berkualitas. Kata “berkualitas” dalam konteks ini mengacu pada pemerataan pertumbuhan ekonomi (tidak hanya berpusat pada satu dua wilayah saja). Roadmap ini harus dapat diwujudkan dalam jangka waktu menengah.
Potensi risiko sistemik tetap akan tinggi apabila lebih dari separuh PDB Indonesia hanya disumbangkan oleh beberapa provinsi, dan cenderung terpusat di Jawa. Pertumbuhan berkualias akan terwujud apabila negara memiliki fundamental ekonomi yang kuat dan tersebar di semua provinsi. Diperlukan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan peningkatan nilai tambah produksi. Percepatan hilirisasi industri menjadi poin penting dalam jangka menengah ini.
|
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mulai diupayakan pemerintah melalui berbagai kebijakan, seperti mengubah arah pembangunan nasional dari Jawa centris menjadi Indonesia centris serta kebijakan hilirisasi industri dan percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Berbagai upaya tersebut ditempuh salah satunya untuk menurunkan rasio gini yang saat ini masih di angka 0,38 (semakin kecil angka ini mengindikasi kesenjangan distribusi pendapatan penduduk semakin berkurang).
Setelah pertumbuhan berkualitas tercapai, maka keberlanjutan dari pertumbuhan tersebut harus dipertakankan dalam jangka panjang. Diperlukan kebijakan-kebijakan yang terencana dan sistematis dalam roadmap ke tiga ini. Orientasi pertumbuhan ekonomi jangka pendek berpotensi menimbulkan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang apabila dilakukan dengan cara mengeksploitasi alam, menjual produk primer, dan ketergantungan pada penjualan komoditas. Rodmap jangka panjang diperlukan untuk memastikan dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Sebagai negara dengan sumber daya alam besar, potensi terjadinya eksploitasi alam sangat tinggi, dengan ketergantungan pada ekspor komoditas dan produk primer. Jika pertumbuhan yang dinikmati selama ini terjadi karena cara tersebut, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan, karena alam sebagai pusat eksploitasi memiliki umur dan kandungan yang terbatas. Ekonomi hijau (green economy), termasuk pembiayaan hijau (green financing) menjadi isu penting yang perlu diimplementasikan dalam tahap ini.
Setiap perusahaan yang beroperasi harus memerhatikan keberlanjutan lingkungan dan alam. Hal itu penting untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memiliki keberlanjutan (tidak berakhir pada jangka pendek atau menengah saja). Diperlukan sejumlah kebijakan yang mengarah pada green economy, baik kebijakan ekonomi itu sendiri maupun implementasi di sektor hukum yang mengutamakan keberlanjutan lingkungan.
Sertifikasi dengan kriteria yang jelas dan transparan perlu dituangkan dalam kebijakan pemerintah pusat yang mengatur setiap aktivitas ekonomi yang bersentuhan langsung dengan lingkungan. Dalam jangka panjang, penggunaan energi baru dan terbarukan menjadi sesuatu yang mutlak. Konversi B30 (solar dengan kandungan 30% minyak sawit/CPO) merupakan langkah awal untuk mengarah ke tahap ini.
Pengembangan kualitas sumberdaya manusia (human capital) harus dipersiapkan mulai sekarang sehingga kita tidak kekurangan tenaga-tenaga profesional pada saat itu. Reformasi birokrasi harus terus dikawal dan diikuti reformasi pendidikan yang menyinergikan antara kurikulum pendidikan dengan tuntutan kebutuhan industri di era digital.
Tentunya semua tahapan dalam setiap roadmap yang dibahas dalam artikel ini ada yang sudah, sedang, dan akan dilakukan pemerintah. Semua tugas besar tersebut harus dimatangkan mulai dari sekarang untuk mengejar visi ekonomi Indonesia tahun 2045. Komitmen para pemimpin, pemerataan infrastruktur (fisik dan digital), energi, kepastian hukum, kualitas human capital, serta birokrasi yang profesional menjadi pilar utamanya. Kita optimis bahwa Indonesia mampu melakukan transformasi tersebut dengan baik sebagai basis pertama dan utama dalam mewujudkan mimpi menjadi negara maju. (cnbcindonesia)
Discussion about this post