[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Bank Indonesia (BI) dinilai perlu menahan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo di level 4,0 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 12-13 Oktober 2020. Strategi ini dilakukan sembari mempertahankan kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas di sektor keuangan. Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memandang tidak adanya tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat, pelemahan inflasi mulai mereda di September dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Meskipun mencatatkan deflasi bulanan secara beruntun untuk ketiga kalinya, inflasi bulanan September sebesar 0,05 persen (mtm) tercatat lebih tinggi ketimbang periode yang sama di tahun lalu yang tercatat sebesar 0,14 persen (mtm).
“Walaupun adanya tanda kenaikan inflasi, daya beli masyarakat masih dianggap lemah. Berlanjutnya tren penurunan dari inflasi inti tahunan dan bulanan yang tercatat pada 1,86 persen (yoy) dan 0,13 persen (mtm), dibandingkan dengan 2,03 persen (yoy) di bulan sebelumnya dan 0,30 persen (mtm) di periode yang sama tahun lalu mengindikasikan bahwa daya beli masih jauh dari pulih,” tulis LPEM dalam rilis analisis makroekonomi RDG BI edisi Oktober 2020, Selasa, 13 Oktober 2020.
Dalam kondisi normal, tingkat inflasi biasanya memberikan informasi yang cukup gamblang terkait perbaikan atau pelemahan permintaan agregat mengingat inflasi umum dan inflasi inti cenderung bergerak dengan arah yang sama. Namun, inflasi inti yang merupakan indikator untuk mengukur daya beli di September tidak bergerak sejalan dengan inflasi umum.
Dengan demikian, kenaikan inflasi umum tahunan pada September sebagai pertanda pulihnya daya beli bisa jadi tidak tepat mengingat daya beli selama masa pandemi menyentuh level terendahnya, ditambah belum terlihatnya tanda-tanda akan selesainya krisis dalam waktu dekat.
“Dengan demikian, belum ada jalur pemulihan daya beli yang cukup stabil hingga saat ini dan paling tidak untuk beberapa bulan ke depan. Di samping itu, angka inflasi saat ini juga masih berada jauh di bawah koridor target inflasi BI antara dua persen hingga empat persen,” paparnya.
Sementara itu, ketidakpastian diprakirakan masih terus meningkat, baik di sisi domestik maupun global. Di saat masyarakat masih belum yakin pemerintah sudah melakukan upaya penanganan krisis kesehatan secara baik, munculnya isu-isu lain seperti penolakan terhadap Omnibus Law Ketenagakerjaan dan implementasi yang buruk dari penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta makin memperkeruh ketidakpastian.
Seluruh pertanda meningkatnya ketidakpastian cukup terefleksikan dalam nilai tukar rupiah yang bergejolak selama beberapa pekan belakangan. Pertengahan September, nilai tukar rupiah sempat anjlok ke level Rp14.700 per USD seiring meningkatnya kekhawatiran pasar akan berkurangnya independensi Bank Indonesia yang berdampak terhadap nilai tukar.
Namun melewati pertengahan September, rupiah sempat mengalami penguatan sesaat dan kemudian melemah lagi hingga hampir menyentuh angka Rp14.900 per USD di awal September. Namun, terlepas dari berbagai bentuk penolakan dan aksi demo terhadap disahkannya Omnibus Law Ketenagakerjaan, rupiah justru menguat hingga mencapai level sekitar Rp14.650 per USD pada Jumat lalu. Menguatnya rupiah kemungkinan didorong oleh munculnya sentimen positif oleh investor, yang sebagian investor memandang Omnibus Law Ketenagakerjaan dapat memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Lebih lanjut, tanda-tanda ketidakpastian juga direfleksikan oleh data arus modal. Dibandingkan bulan sebelumnya, Indonesia mengalami arus modal keluar sebesar USD830 juta, penurunan dari nilai arus modal masuk sebesar USD4,49 miliar di pertengahan September ke USD3,66 miliar pada akhir pekan lalu dan tercatat sebagai arus modal masuk terendah sejak awal 2019.
“Walaupun BI mampu untuk terus meningkatkan cadangan devisanya selama beberapa bulan belakangan dan sempat menyentuh angka cadangan devisa sebesar USD137 miliar (tertinggi dalam sejarah), BI telah menggunakan sebagian cadangan devisanya untuk melakukan stabilisasi seiring bergejolaknya nilai tukar rupiah. Hal ini menyebabkan turunnya cadangan devisa Indonesia ke level USD135 miliar di September, sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya,” urai LPEM.
Di sisi lain, adanya tendensi untuk meningkatkan tabungan oleh kelompok masyarakat menengah ke atas juga menahan permintaan agregat. Lebih lanjut, keputusan dunia usaha yang menahan kapasitas produksinya ke tingkat minimum juga menghambat laju pertumbuhan kredit.
Mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, LPEM menilai pelonggaran kebijakan moneter saat ini tidak akan terlalu mendorong bertumbuhnya aktivitas ekonomi dan justru akan menambah risiko peningkatan tekanan terhadap depresiasi nilai tukar rupiah dan arus modal keluar.
“Oleh karena itu, kami memandang BI perlu mempertahankan suku bunga acuan di level 4,0 persen bulan ini, sembari mempertahankan kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas di sektor keuangan,” tutup LPEM.(msn)
Discussion about this post