[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara mengenai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK yang menyebut pengelolaan utangpemerintah pusat kurang efektif. Ia mengklaim tekah mengelola utang secara hati-hati.
“Mengenai studi yang dilakukan BPK, ya kita hormati. Kami terus melakukan pengelolaan utang secara berhati-hati dan bertanggung jawab,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Jumat petang, 8 Mei 2020.
Sri Mulyani mengatakan dalam situasi penerimaan negara yang turun dan kebutuhan belanja sangat besar, utang menjadi salah satu instrumen dalam pembiayaan APBN. “Kalau kita hanya mengamankan APBN kita sendiri, ya kita mendingan tidak usah belanja. Kan enggak begitu.”
Kondisi ekonomi nasional dan sosial, kata Sri Mulyani, mengharapkan APBN untuk terus berekspansi. Karena itu pemerintah terus melakukannya. Dampaknya, pemerintah perlu melakukan konsolidasi fiskal dengan menggenjot penerimaan dan mengefisienkan belanja.
“Kan juga ini sebetulnya sama, walau kita melakukan belanja dan tambah utang. Namun kita juga melihat hasilnya, infrastruktur menjadi baik, kemiskinan menurun, sampai terjadinya Covid-19,” ujar Sri Mulyani.
Dalam mengelola keuangan negara, kata Sri Mulyani, pemerintah tidak hanya mengacu kepada satu rumus, satu kebutuhan, dan satu tujuan. Ia menekankan bahwa fiskal adalah instrumen, bukan tujuan. “Namun tidak berarti kita ugal-ugalan.”
BPK sebelumnya telah melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas pengelolaan utang pemerintah pusat untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal tahun 2018 hingga triwulan III 2019.
Pemeriksaan dilakukan pada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, serta instansi terkait pengelolaan utang tersebut. “BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal,” ujar Ketua BPK Agung Firman dalam Sidang Paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta.
Penilaian tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain karena pengelolaan utang pemerintah pusat belum didukung dengan peraturan terkait dengan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan fiscal sustainability analysis termasuk debt sustainability analysis secara komprehensif. Sehingga, berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang.
Hasil pemeriksaan itu dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019. Laporan tersebut telah diserahkan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani pada hari ini.
IHPS II Tahun 2019 ini merupakan ikhtisar dari 488 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya yang meliputi hasil pemeriksaan atas 1 laporan keuangan, 267 hasil pemeriksaan kinerja, dan 220 hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (DTT).(msn)
Discussion about this post