[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Sejumlah ekonom menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law berpotensi mengerek defisit neraca perdagangan Indonesia. Pasalnya, beleid itu akan membuat kegiatan impor meningkat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan omnibus law nantinya akan mempermudah proses perizinan investasi di dalam negeri. Dengan kemudahan itu, investasi akan banyak masuk.
Logikanya, investasi yang masuk tentu akan dibarengi dengan kegiatan ekspor dan impor. Sebab, pengusaha juga seringkali membutuhkan bahan baku dan barang modal dari luar negeri dalam menjalankan bisnisnya.
“Perlu hati-hati karena kegiatan ekspor dan impor berpotensi menjadi lebih longgar. Ini perlu diwaspadai karena bisa jadi efek omnibus law justru akan meningkatkan defisit perdagangan ke depan,” ungkap Andry.
Terlebih, sambung dia, kinerja perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih negatif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan masih defisit sebesar US$1,33 miliar pada November 2019.
Defisit terjadi lantaran nilai impor yang lebih tinggi ketimbang ekspor. Rinciannya, impor per November 2019 sebesar US$15,34 miliar dan ekspor US$14,01 miliar.
“Ingat kinerja perdagangan Indonesia belum juga membaik,” imbuhnya.
Karenanya, ia menyarankan pemerintah tidak terlena dengan memberikan keleluasaan dalam aktivitas perdagangan di RUU omnibus law. Apalagi, Andry menilai tak semua produk impor memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan barang lokal.
“Jangan sampai Indonesia memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas,” jelas Andry.
Di sisi lain, Peneliti INDEF Ariyo DP Irhamna mengatakan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam RUU omnibus law perihal izin investasi. Salah satunya memasukkan aturan yang memperkuat wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Masalahnya, kata Ariyo, selama ini BKPM hanya fokus mengurus bagian hilir saja atau realisasi investasi. Namun, lembaga itu lemah dari sisi hulu atau perencanaan investasi.
“Hal tersebut dipicu oleh belum optimalnya peran BKPM dalam melakukan koordinasi perencanaan proyek investasi, sehingga dalam RUU Omnibus Law perlu memasukkan aturan yang memperkuat BKPM,” papar Ariyo.
Selain itu, pemerintah juga perlu menambah poin bahwa investor bisa langsung mengucurkan dana ketika pemerintah sudah memberikan izin usaha secara umum. Artinya, mereka tak harus menunggu izin teknis lanjutan seperti sekarang untuk mulai menanam modal.
“Jadi investor sudah bisa melakukan sewa kantor, merekrut karyawan, dan aktivitas bisnis dasar lainnya,” jelas Ariyo.
Ia berpendapat hal itu bisa mempercepat realisasi investasi tanpa mengabaikan izin teknis, seperti izin lingkungan, izin operasional, dan izin lokasi. Dengan demikian, tak ada lagi investasi yang tertunda hanya karena proses perizinan yang panjang.
Sebagai informasi, RUU omnibus law yang tengah disusun pemerintah terdiri dari RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Rencananya, kedua RUU tersebut akan diajukan pemerintah ke DPR pada tahun ini.(cnn)
Discussion about this post