KeuanganNegara.id – Pernyataan Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani Indrawati, dalam acara 2nd Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta seperti dikutip dari portal berita Detik (23/08) menimbulkan perdebatan warganet. Terbukti, di bagian bawah berita bertajuk ‘Sri Mulyani Ingin Zakat Dikelola Seperti Pajak’ ini menimbulkan beragam reaksi. Pada kolom tersebut, 80% reaksi yang terekam adalah reaksi marah dan ada 73 komentar sampai tulisan ini ditulis dalam nada yang beragam.
Pokok persoalannya bermula pada judul yang menyatakan bahwa ada keinginan pemerintah, diwakili oleh Menteri Keuangan, untuk mengelola zakat sebagaimana pajak. Sederhananya, pengelolaan zakat ingin diambil alih oleh pemerintah. Ini seakan menjadi jalur lanjutan perdebatan dalam isu dana haji di mana sebagian masyarakat menganggap pemerintah ingin mengambil dana umat.
Padahal, jika dicermati, tidak ada sama sekali keinginan itu. Kalimat yang dikutip secara langsung dalam berita itu menyatakan dengan jelas bahwa Ibu Sri Mulyani hanya menyampaikan harapan kepada pihak pengelola zakat yang hadir di acara AIFC 2017 agar dana zakat bisa dikelola dengan lebih baik. Kemudian beliau membandingkan dengan pengelolaan pajak. Itu saja yang beliau sampaikan dan ini perlu diluruskan.
Lalu jika ini sebuah harapan, apakah kita biarkan menjadi harapan saja? Ini menarik. Sejatinya masyarakat memang merindukan dana zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ziswaf) dikelola oleh lembaga penyalur yang kredibel. Hal ini dibuktikan dengan munculnya lembaga-lembaga penyalur ziswaf yang cukup dikenal dan dipercaya masyarakat, meskipun kita sudah memilik BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Bahkan bila Hari Raya Idul Adha tiba, lembaga-lembaga tersebut dipercaya masyarakat menyalurkan hewan kurban.
Fenomena ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa masyarakat kita memang merindukan dan membutuhkan lembaga penyalur ziswaf yang bisa mereka percaya. Apa yang membuat lembaga-lembaga ini dipercaya masyarakat? Adakah yang bisa dipelajari pemerintah dari tata kelolanya?
Poin utama keberhasilan lembaga-lembaga ziswaf ini yakni pola pertanggungjawaban yang baik. Mereka melaporkan setiap kegiatan penyaluran dan terdokumentasi dengan baik, melalui media-media sosial. Mereka berinteraksi dengan para donatur. Bahkan ada pola pertanggungjawaban personal kepada donatur rutin berupa laporan pelaksanaan kegiatan yang dikirim khusus ke alamat (email) donatur. Ini pula yang menjadi tantangan utama pemerintah jika ingin mendapat kepercayaan masyarakat dalam penyaluran ziswaf.
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, memastikan setoran ziswaf masuk melalui modul (sistem) penerimaan negara seperti yang diterapkan pada setoran penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Melalui sistem tersebut, penyetor bisa mendapatkan bukti bahwa uang yang disetor benar telah masuk ke rekening negara dan bisa dikonfirmasi/diverifikasi ke lembaga terkait.
Kedua, harus ada sistem yang bisa diakses penyetor untuk melihat berapa dana yang telah masuk dan telah digunakan dalam waktu tertentu. Ketiga, selain mengadopsi pola pertanggungjawaban lembaga swasta, pemerintah juga perlu memasukkan pertanggungjawaban dana ziswaf ini dalam pola pertanggungjawaban resmi negara seperti UU Pertanggungjawabaan atas Pelaksanaan APBN.
Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah telah mengakui pembayaran ziswaf sebagai pengurang dasar kewajiban perpajakan. Artinya harta yang akan diperhitungkan pajaknya sudah dikurangi dengan ziswaf yang telah dibayarkan sehingga pajak yang harus dibayar lebih sedikit. Namun demikian, pengakuan ziswafnya masih secara manual. Ini perlu segera diotomatisasi untuk menarik minat masyarakat menyetorkan ziswafnya melalui pemerintah.
Hal ini akan lebih menarik lagi jika pemerintah berani menjadikan ziswaf yang telah dibayar sebagai pengurang kewajiban perpajakan, bukan sekedar pengurang dasar kewajiban perpajakan. Ini seperti yang telah menjadi praktik di negara tetangga, Malaysia. Ini akan menarik minat masyarakat agar lebih jujur dalam menunaikan kewajiban ziswafnya. Berdasarkan penelitian Eko Suprayitno (Indonesia), Radiah Abdul Kader (Malaysia), dan Azhar Harun (Malaysia) yang dipublikasikan di situs researchgate pada bulan November 2015 bahwa di Malaysia, zakat memiliki dampak positif dan signifikan pada pendapatan pajak dan hipotesis bahwa zakat akan mengurangi penerimaan pajak ditolak.
Apa tantangan lain bagi pemerintah selain kepercayaan masyarakat? Kemauan dan beradaptasi dengan kondisi saat ini. Semoga terealisasi!
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post