[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan kekurangan penerimaan pajak pada tahun ini bakal berada di atas proyeksi. Kementerian Keuangan sebelumnya menargetkan shortfall pajak 2019 mencapai Rp 140 triliun.
Belum jelas betul berapa besar kekurangan pajak itu. “Masih dicermati. Semoga tidak sebesar akumulasi dua tahun terakhir yang mencapai Rp 240 triliun,” kata Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Yon Arsal di Jakarta.
Pada 2017 dan 2018 shorfall pajak masing-masing sebesar Rp 127,2 triliun dan Rp 110, 78 triliun. Sementara, realisasi penerimaan pajak dari awal tahun hingga Oktober 2019 baru mencapai 65,71% dari target Rp 1.786,38 triliun. Jadi, masih ada kekurangan sekitar Rp 612,5 triliun.
Terlihat dari grafik Databoks di bawah ini realisasinya masih jauh dari target. Bahkan angka itu turun dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Pada Oktober 2018, realisasi penerimaan pajak sudah mencapai angka 71,7% dari target Rp 1.618,1 triliun.
Penerimaan pajak terbesar dalam 10 bulan tahun ini berasal dari pajak dalam negeri, Rp 1.140,87 triliun. Angkanya mencapai 65,45% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 untuk pajak dalam negeri. Sementara, realisasi pajak perdagangan internasional sebesar Rp 33,02 triliun atau 76,23% dari target.
Menurut Yon, ada tiga faktor penyebab rendahnya penerimaan pajak tahun ini. Pertama, percepatan restitusi yang diberikan pemerintah. Fasilitas pengembalian pajak ini memang telah diprediksi sebelumnya akan menurunkan penerimaan negara.
Kedua, perlambatan ekonomi dunia, akibat perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, membuat aktivitas ekspor dan impor dalam negeri ikut turun. Hal itu terlihat dari pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) impor. Target pertumbuhan kedua pajak itu adalah 23%. Tapi realisasinya ternyata hanya 7% sepanjang tahun ini.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik melaporkan kinerja perdagangan pada bulan lalu mengalami surplus sebesar US$ 161,3 juta. Namun, neraca perdagangan Januari-Oktober 2019 masih defisit US$ 1,79 miliar
Terakhir, rendahnya penerimaan pajak, menurut Yon, karena harga komoditas yang belum membaik. Harga sawit sedikit ada perbaikan pada bulan lalu. Namun, efeknya baru terasa pada penerimaan pajak Desember 2019 atau tahun depan.
Soal turunnya penerimaan pajak ini pun diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Saat memberikan kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, ia mengatakan kondisi ini terjadi karena perekonomian global yang tidak pasti.
“Ekonomi dunia melemah dan merembes ke Indonesia karena korporasi omsetnya turun, maka bayar pajaknya juga turun,” katanya di Auditorium Soeria Atmadja, Depok.
Pemerintah berupaya untuk memperkecil shortfall pajak itu dengan meningkatkan penerimaannya. Dalam satu bulan ini Direktorat Jenderal Pajak akan intensif melakukan pengawasan, pemeriksaan, serta penegakkan hukum dalam mengejar target.
Penerimaan Pajak Sulit Capai Target
Imbas dari naiknya shortfall pajak tentu saja ke defisit anggaran. Defisit itu akan lebih besar dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara 2019 sebesar 1,87%.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman memperkirakan angkanya di 2,2% dari produk domestik bruto. “Kisarannya 2%-2,2% terhadap PDB sampai akhir tahun,” ucapnya pada Jumat pekan lalu.
Prediksi ini juga melebihi perkiraan sebelumnya, yakni 1,93% dari PDB. Masyarakat, menurut Luky, tidak perlu khawatir karena pemerintah akan menjaga defisit tidak melebihi batasan yang ditetapkan undang-undang.
“Pemerintah akan tetap konsisten sesuai undang-undang keuangan negara yang membatasi defisit 3% dari PDB,” ucapnya. “Masih ada fleksibilitas meski tetap hati-hati dan prudent.”
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai dalam bulan-bulan akhir 2019 ini tak banyak yang bisa pemerintah lakukan. Realisasi penerimaan pajak sudah pasti meleset dari target.
Namun, untuk menjaga agar angka shortfall tidak terlalu tinggi, ia menyarankan empat langkah untuk pemerintah. Pertama, melakukan pengawasan kewajiban perpajakan dari belanja APBN dan APBD.
Kedua, meningkatkan pengawasan setor dan lapor PPN. Ketiga, persuasi data atau informasi yang sedang proses pemeriksaan, bukti permulaan, atau penyidikan. Keempat, mepercepat pencairan tunggakan pajak melalui penjadwalan cicilan.
Tahun depan, sebaiknya pemerintah lebih realistis memasang target. “Seharusnya bisa lebih baik (angka penerimaan pajaknya) karena pemanfaatan data AEoI sudah bisa lebih optimal,” kata Prastowo kepada Katadata.co.id.
AEoI atau automatic exchange of information merupakan kerja sama internasional pertukaran data keuangan secara otomatis untuk keperluan pajak. Indonesia efektif melaksanakan kerja sama ini dengan puluhan negara mulai September 2018.
Direktorat Jenderal Pajak telah menerima data ribuan triliun rupiah aset keuangan di luar negeri milik wajib pajak Indonesia. Dari jumlah itu, ada yang terindikasi sebagai harta tersembunyi karena tidak pernah dilaporkan
Wajib pajak yang tidak melaporkan hartanya akan terkena sanksi. Ditjen Pajak akan menganggap harta itu sebagai penghasilan tambahan dan dikenakan PPh.
Bagi wajib pajak yang ikut pengampunan pajak atau tax amnesty, ancaman denda administrasinya sebesar 200% dari PPh terhutang. Sementara, wajib pajak yang tidak ikut program pengampunan pajak dikenakan denda 2% per bulan, maksimal 48%. (msn)
Discussion about this post