KeuanganNegara.id– Lembaga internasional Moody’s Analytics memperkirakan peluang terjadinya resesi ekonomi global meningkat untuk setahun hingga 1,5 tahun ke depan. Hal itu dipicu oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya, suatu perekonomian disebut mengalami resesi jika pertumbuhannya mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
“Eskalasi perang dagang telah melampaui ekspektasi dan taruhannya tinggi untuk perekonomian global. Peluang terjadinya resesi global untuk 12 hingga 18 bulan ke depan meningkat dari 40 persen hingga 50 persen,” Kepala Ekonom Moody’s Analytics untuk Asia Pasifik Steve Cochrane dalam risetnya yang berjudul ‘Living on the Tail Risk’, dikutip Kamis (8/8).
Dalam risetnya, Cochrane mengungkapkan perkembangan perang dagang antara AS-China makin suram. Hal ini akan berimbas negatif pada perekonomian global.
AS telah mengumumkan rencana pengenaan tarif tambahan sebesar 10 persen atas impor senilai US$300 miliar asal China mulai 1 September 2019 mendatang. Jika terealisasi, nilai barang impor China yang terkena tarif AS nilanya mencapai US$550 miliar atau setara dengan total impor dari Negeri Tirai Bambu ke AS selama ini.
Menurut Cochrane, pengenaan tarif tersebut akan lebih menyakiti perekonomian AS dibandingkan China. Pasalnya, tarif akan membuat harga barang-barang konsumsi AS menanjak sehingga memicu inflasi dan melemahkan keyakinan konsumen.
Padahal, sambungnya, konsumsi merupakan roda penggerak utama perekonomian AS. Apabila konsumsi melambat, risiko resesi di AS semakin meningkat dan akhirnya turut menyeret pertumbuhan ekonomi global.
Sebagai respons atas serangan tarif AS, China telah mengenakan tarif terhadap 92 persen pada produk impor asal AS. Tak hanya itu, memanasnya perang dagang antara keduanya juga menekan mata uang yuan terhadap dolar AS. Pelemahan yuan bakal membuat produk China menjadi lebih kompetitif.
Jika perang dagang terus berlanjut, China dapat membiarkan mata uangnya terus melemah. Opsi untuk menahan ekspor logam rare earth ke AS juga bisa diambil mengingat hampir 60 persen kebutuhan logam rare earth AS dipasok oleh Negeri Tirai Bambu itu.
Di Asia, sambung Cochrane, imbas perang dagang keduanya terasa melalui terganggunya rantai pasok. Saat ini, permintaan ekspor di kawasan Asia-Pasifik merosot seiring menurunnya permintaan barang setengah jadi dari industri manufaktur China.
“Ekspor dan impor di Asia telah merosot sepanjang 2019, seiring perang dagang yang memperburuk siklus penurunan yang ada,” jelasnya.
Untuk menahan risiko perang dagang, bank sentral di sejumlah negara telah menjalankan kebijakan pelonggaran moneter. Dengan cara itu, bank sentral berharap bisa mendongkrak permintaan domestiknya.
Penurunan suku bunga memang membuka peluang untuk mengerek kredit. Namun, Cochrane mengingatkan meningkatnya tensi geopolitik global bakal menahan perusahaan untuk berinvestasi.
Di sisi lain, memanasnya perang dagang antara China-AS dapat memberikan dampak positif pada perekonomian negara yang biaya produksinya rendah, seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, sentra produksi barang yang berbiaya murah mulai beralih dari China ke negara-negara lain.
Peralihan ini sebenarnya sudah terjadi seiring peningkatan upah pekerja di China. (cnn)
Discussion about this post