Oleh Mikha Andri, BDK Pekanbaru
Pada tahun 2016, dunia dikejutkan oleh kebocoran dokumen finansial berskala luar biasa. Peristiwa tersebut merupakan kebocoran data terbesar di dunia yang berasal dari firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau disebut “Panama Papers”. Setidaknya terdapat 12 pemimpin dunia, 128 politisi dan pejabat publik, beserta ratusan mafia narkoba, miliuner, selebrity, dan orang penting lainnya disebut dalam dokumen yang mengungkap aneka dugaan praktik skandal keuangan rahasia. Hal yang menjadi pertanyaan ialah apa alasan para pesohor ini menyimpan “celengan sapinya” di Panama? Keberhasilan mengungkap dokumen tersebut merupakan hasil investigasi sebuah organisasi wartawan global, International Consortium of Investigative Journalists, sebuah koran dari Jerman Süddeutsche Zeitung dan lebih dari 100 organisasi pers dari seluruh dunia.
Pihak-pihak dalam Panama Papers tersebut terkait dengan berbagai perusahaan gelap yang sengaja didirikan di wilayah-wilayah offshore (tax haven countries). Data berkapasitas 2,6 terabyte dengan periode pencatatan selama 40 tahun sejak 1977 sampai awal 2015 memuat informasi lebih dari 214 ribu perusahaan cangkang pada 21 jurisdiksi offshore. Informasi tersebut memungkinkan publik mengintip bagaimana dunia offshore mengalirkan uang gelap di jagat finansial global secara rahasia. Hal ini mendorong lahirnya banyak modus dalam merampok pundi-pundi negara dari pajak yang tak dibayarkan, walaupun kepemilikan perusahaan cangkang pada dasarnya tidak melawan hukum.
Istilah baru yang muncul dalam Panama Papers ialah “Perusahaan Cangkang” atau shell corporation. Perusahaan ini dapat disamakan sebagai conduit company atau special purpose vehicle company atau perusahaan boneka. PPATK mendefenisikan shell corporation sebagai perusahaan yang didirikan secara formal berdasarkan aturan hukum yang berlaku, namun tidak digunakan melakukan kegiatan usaha, melainkan melakukan transaksi fiktif maupun menyimpan aset pendirinya ataupun orang lain untuk menyamarkan kepemilikan sebenarnya terhadap aset tersebut. Dengan demikian, mereka dapat bertindak sebagai penghindar pajak (tax avoidance) untuk bisnis yang sah. Fungsi penghindaran pajak inilah yang membuat perusahaan cangkang digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan ‘manuver-manuver’ keuangan. Guna memuluskan hal tersebut, terdapat firma-firma yang berlaku sebagai pembuat perusahaan cangkang. Keberadaannya biasanya terletak di negara-negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven countries) seperti Panama, Barbados, Hong Kong dan British Virgin Islands (BVI).
Pertanyaan selanjutnya yaitu apa yang dimaksud dengan penghindaran pajak (tax avoidance), apakah tax avoidance ini bertentangan dengan undang-undang? James Kessler (2004) menyimpulkan tax avoidance sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan pajak dengan cara yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Skema penghindaran pajak pada banyak negara dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance). Unacceptable tax avoidance dapat disebut juga aggressive tax planning. Slemrod (2004) dan Slemrod dan Yitzhaki (2002) dalam Hanlon dan Heitzman (2010) mengartikan agresivitas pajak (tax aggressiveness) sebagai pelaporan pajak agresif yang mencakup berbagai transaksi dengan tujuan menurunkan kewajiban pajak tanpa melibatkan respon nyata oleh perusahaan dan merupakan bagian dari kegiatan penghindaran pajak yang lebih umum. Dengan kata lain, unacceptable tax avoidance atau tax aggressiveness ini lebih mengarah pada penggelapan pajak (tax evasion).
Mengacu pada pernyataan diatas, pertanyaan berikutnya apakah tax avoidance atau tax evasion yang dilakukan oleh perusahaan cangkang dengan menyembunyikan celengan sapinya di Panama tersebut? Kedua hal tersebut memberi gambaran bahwa masih banyak perbaikan dan evaluasi yang perlu dibenahi, baik dari sisi riset, perencanaan dan penetapan peraturan perundang-undangan bahkan solusi apabila permasalahan tersebut timbul. Terlebih lagi, kesuksesan tax amnesty yang telah dilaksanakan di Indonesia menunjukkan rendahnya kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Banyak wajib pajak baik badan maupun orang pribadi yang menggunakan “perusahaan cangkang” untuk menyembunyikan “celengan sapinya” di negara-negara surga pajak. Hal tersebut semakin diperparah dengan perkembangan teknologi dan informasi dalam melaksanakan kegiatan bisnis, sehingga praktik tax avoidance semakin kompleks.
Bentuk lain dari unacceptable tax avoidance atau tax aggressiveness ialah pencurian yang dilakukan korporasi terhadap besaran pajak terutang yang harus dibayar akibat tingginya tarif pajak yang ditetapkan pemerintah. Contoh nyata kasus Lionel Messi tahun 2007 dan 2009 yang melakukan penggelapan dan penipuan pajak di Spanyol dengan nilai £4 juta dan dikenakan denda sebesar £2 juta. Penyebabnya yakni tarif pajak penghasilan yang terlampau tinggi di Spanyol, sehingga menyebabkan para wajib pajak berpenghasilan besar memalsukan atau mengalihkan pendapatan. Selain tarif pajak yang tinggi, Spanyol juga telah melaksanakan penegakan hukum perpajakan yang ketat dan melaksanakan pemeriksaan atas laporan keuangan wajib pajak, salah satu keberhasilan hal tersebut terbukti dengan menguaknya kasus Messi. Mengacu pada undang-undang perpajakan, Messi seharusnya melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya sebagai pesepakbola. Ada dua hal utama yang harus dipahami yaitu seluruh penghasilan berarti termasuk penghasilan di luar sepakbola, misalnya image right, dan walaupun berkebangsaan Argentina, karena ia bekerja di Spanyol, maka Messi sah terhitung sebagai wajib pajak Spanyol.
Sebelum sistem perpajakan yang sekarang berlaku, Spanyol memiliki sistem perpajakan yang dikenal sebagai The Beckham Law. Mereka yang berada di bawah The Beckham Law hanya dikenai tarif pajak penghasilan flat sebesar 24,75%. Sayangnya, kebijakan yang menguntungkan ini diamandemen tahun 2009 dan berlaku sejak 1 Januari 2010, karena krisis ekonomi yang terjadi di Spanyol. Akibatnya, seluruh wajib pajak harus membayar pajak dengan tarif progresif yang telah ditetapkan. Sistem baru ini menetapkan tarif PPh orang pribadi di Spanyol secara progresif antara 24,75% sampai 52%. Tarif progresif ini berarti tarif pajak penghasilan yang dibebankan kepada wajib pajak tidak hanya satu tarif tetapi bertingkat.
Tarif pajak yang tinggi ini memaksa Messi melakukan tindakan pencurian (penggelapan pajak). Pernyataan tersebut sesuai dengan kesimpulan yang diperoleh Mihir A.Desai, dkk dalam jurnal Theft and Taxes (2006) yang menyatakan bahwa karakteristik sistem pajak suatu perusahaan mempengaruhi jumlah pengalihan yang berlangsung pada suatu negara dan perusahaan tersebut, tarif pajak yang lebih tinggi memperburuk tata kelola perusahaan, sementara penegakan hukum pajak yang kuat dapat memperbaiki kondisi tersebut. Selain itu pajak bagi perusahaan memainkan peran penting dalam menentukan sensitivitas penerimaan. Hubungan antara tingkat pajak dan tingkat pendapatan tergantung pada kondisi pemerintahan dimana respon yang baik diperoleh dalam lingkungan pemerintahan yang stabil.
Hanlon dan Heitzman (2010) mengungkapkan bahwa relevansi penelitian terhadap penghindaran pajak yang meningkat, memicu pemerintah untuk mencoba menutup tax gap, dengan meningkatkan kepatuhan melalui penegakan hukum, sehingga bisa mencapai target penerimaan pajak. Batasan antara praktik penghindaran pajak yang dapat diterima dengan penghindaran pajak yang tidak dapat diterima merupakan subjek studi yang menarik. Masih terdapat celah dalam peraturan dan ketentuan perpajakan memicu adanya penghindaran pajak yang secara legal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Apalagi dengan timbulnya “Panama Papers” dan “perusahaan cangkang” yang menyembunyikan “celengan sapinya” di negara-negara surga pajak, serta pencurian terhadap pajak dari korporasi semakin meningkatkan kebutuhan dan perhatian terkait hal ini. Fokus selanjutnya adalah bagaimana pemerintah dengan bantuan peneliti maupun akademisi dapat menjawab tantangan tersebut, terlebih dalam memecahkan “celengan sapi” dari “perusahaan cangkang” di negara-negara surga pajak.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
REFERENSI
Desai, Mihir A., Alexander Dyck, and Luigi Zingales. 2006. Theft and Taxes. Journal of
Financial Economics. Harvard University, Boston.
Michelle Hanlon dan Shane Heitzman, “A review of Tax Research”, Journal of Accounting and Economics 50 (2010) 127–178.
James Kessler, “Tax avoidance Purpose and Section 741 of the Taxes Act 1988”, British Tax Review, 4 November 2004
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/05/155803526/Ini.Penjelasan.Sederhana.Panama.Papers. Diakeses pada 23 Oktober 2017.
http://www.investopedia.com/terms/s/shellcorporation.asp. Diakses pada 23 Oktober 2017.
https://investigasi.tempo.co/panama/. Diakses pada 23 Oktober 2017.
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/03/235776421/hadiri-sidang-kasus-pajakmessi-diteriaki-maling, diakses 24 Oktober 2017.
http://www.totalsportek.com/money/lionel-messi-net-worth, diakses 24 Oktober 2017.
http://bola.liputan6.com/read/2475979/kucing-kucingan-pemain-dunia-denganpungutan-pajak, diakses 24 Oktober 2016.
Discussion about this post