Oleh Dian Handayani, pengajar Politeknik Keuangan Negara STAN*
Lepas landas dari Millennium Development Goals (MDGs), agenda pembangunan dunia selanjutnya ialah Sustainable Development Goals (SDGs). Jika MDGs berhasil mencapai berbagai indikator statistik, maka SDGs berupaya mengisi hal-hal yang belum berhasil dipenuhi dari pendahulunya tersebut. Dari hasil rangkaian diskusi dan konsultasi yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa, ditetapkan agenda pembangunan SDGs periode 2015 sampai 2030. Prinsip yang dianut yakni “leave no-one-behind”, baik bagi negara maju maupun negara berkembang, dengan “common but differentiated responsibilities”.
Sebagaimana diungkapkan Islamic Development Bank (2015), cetak biru SDGs memiliki 17 tujuan dengan 169 target. Keseluruhannya mencakup berbagai tantangan pembangunan yaitu kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, kebersinambungan ekosistem, kesehatan, pendidikan, dan lainnya terkait sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang merupakan pilar pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Prinsip keuangan Islam memiliki potensi besar untuk mencapai tujuan SDGs tersebut. Prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama yang dianut dalam keuangan Islam sejalan dengan tujuan SDGs yang berupaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Prinsip Islam dalam pembangunan ekonomi menempatkan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai prioritas utama untuk memelihara lima maslahat pokok. Maslahat atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan tersebut meliputi pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pada satu sisi, manusia berhak melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Di sisi lain upaya itu tersebut tidak boleh sampai merusak agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kesinambungan atau keberlanjutan menjadi prinsip pembangunan ekonomi dalam Islam.
Sustainable Financing
International Institute for Sustainable Development (2013) mengungkapkan bahwa berbagai kasus keuangan seperti Enron dan krisis keuangan seperti sub-prime mortgage serta krisis utang Eropa disebabkan oleh perilaku manusia yang penuh tipu daya (deceptive). Institusi dalam sistem keuangan yang bertindak seolah-olah “too big to fail” tersebut tidak memenuhi aspek inklusi yang diharapkan. Pembangunan dari sisi sektor keuangan tidak menyentuh kelas menengah dan kaum marjinal.
Prinsip pembangunan ekonomi dalam Islam dianggap memenuhi seluruh aspek yang justru tidak ada dalam praktek selama ini. Moral dan etika yang dianggap kelemahan manusia dalam industri keuangan justru menjadi pertimbangan utama dalam prinsip Islam. Karakteristik prinsip keuangan syariah sejalan dengan upaya menciptakan sistem keuangan global yang berkelanjutan (sustainable global financial system).
Sustainable finance atau keuangan berkelanjutan telah menjadi program Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak tahun 2014. Berdasarkan roadmap tahun 2015 – 2019 yang telah diluncurkan, keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Studi yang dipimpin United Nations Environment Programme tahun 2015 melihat potensi strategis dari keuangan syariah dan merekomendasikan OJK agar mendorong pengembangan keuangan syariah sebagai bagian yang terintegrasi dengan pelaksanaan roadmap tersebut. Dalam hal ini Malaysia sudah selangkah lebih maju melalui pengintegrasian Socially Responsible Investment (SRI) dalam Roadmap Pasar Modalnya. Salah satu sektornya ialah energi terbarukan dimana SRI menyediakan guideline bagi perusahaan yang membutuhkan pendanaan pembangunan energi terbarukan melalui penerbitan Sukuk.
Sukuk
Sukuk dan keuangan syariah telah menarik perhatian dunia. Konferensi internasional yang bertempat di Securities Commission Malaysia pada bulan Mei 2017 menjadikan potensi Sukuk dan sistem keuangan Islam sebagai tema diskusi. Konferensi yang menghadirkan pembicara dari World Bank dan Islamic Development Bank itu melihat potensi Sukuk dan prinsip keuangan syariah sebagai instrumen yang dibutuhkan dunia untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Para peserta konferensi sepakat bahwa terdapat peluang untuk mengombinasikan instrumen keuangan syariah dengan Public-Private Partnership (PPP) untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. PPP adalah kerja sama proyek dimana sektor publik dan swasta bekerja bersama untuk mewujudkan tujuan komersial (korporasi) maupun publik (sosial). Hal yang membuatnya berbeda dengan proyek non-PPP yakni dalam PPP masing-masing pihak sama-sama berbagi tidak hanya dalam hal pendapatan (revenue sharing) tetapi juga risiko (risk sharing). Sementara itu, Sukuk yang mensyaratkan keberadaan suatu underlying asset, menjadi instrumen pasar keuangan yang tepat untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Prinsip keuangan Islam yang mensyaratkan pembagian risiko (risk sharing) menjadi kombinasi yang tepat untuk dikolaborasikan dengan skema PPP.
Sementara itu, penerbitan Sukuk Negara telah menunjukkan trend yang terus meningkat. Kehadiran Sukuk Negara dengan variasi instrumennya baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional, telah memperlihatkan potensi besar yang dimiliki instrumen ini. Penerbitan secara berkala untuk investor institusi telah memberikan pilihan bagi industri keuangan syariah untuk pengelolaan portofolionya. Penerbitan instrumen ritel memperlihatkan besarnya potensi pasar ritel di Indonesia. Adapun penerbitan Sukuk korporasi diprediksi meningkat setelah OJK menurunkan biaya penerbitan.
Melihat besarnya perhatian dan harapan dunia terhadap keuangan syariah, Indonesia perlu bersiap. Harapan besar dilimpahkan kepada Komite Nasional Keuangan Syariah yang pada Juli 2017 secara resmi diluncurkan oleh Presiden. Komite tersebut diharapkan dapat mengintegrasikan seluruh potensi dan rencana strategis pengembangan industri keuangan syariah di tanah air untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan yang inklusif.
Sukuk dan PPP merupakan instrumen yang digunakan Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan. Riset mengenai pengembangan instrumen tersebut perlu dilakukan lebih intensif sebelum Indonesia tertinggal lebih jauh. Inovasi produk perlu dilakukan untuk mewujudkan sinergi dengan pelaku industri. Edukasi kepada masyarakat dilakukan secara berkesinambungan dan terukur untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai sistem keuangan dan keuangan syariah yang pada hakekatnya memberikan aspek keadilan dan kesejahteraan bersama. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar sepantasnya memainkan peran yang signifikan, bahkan memimpin pencapaian target SDGs tahun 2030.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post