[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id– Upaya Kementerian Perdagangan (Kemendag) merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dinilai kurang ampuh membendung banjir impor. Pasalnya, aturan baru yakni Permendag Nomor 77 Tahun 2019 masih memperbolehkan impor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), walaupun kini menggunakan Persetujuan Impor (Pl).
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan importir nakal masih bisa memanfaatkan celah dalam PLB melalui PI. Pasalnya, pemberian kuota impor dalam PI sendiri belum transparan.
“Permendag Nomor 77 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 64 Tahun 2017, belum dapat menjadi jaminan bahwa impor produk TPT melalui PLB berkurang,” katanya.
Menurut dia, perlu perizinan yang mencakup kesesuaian volume dan jenis barang impor, guna menghindari kebocoran impor. Ia juga menilai sebaiknya pemerintah membenahi PLB dengan merevisi Peraturan Dirjen Nomor 02/03/BC/2018 tentang Pusat Logistik Berikat.
“China menggenjot pabrik tenunnya, jadi stok yang di sana nilainya mencapai US$40 miliar banjir kemana-mana termasuk Indonesia,” katanya.Beberapa poin yang direvisi meliputi larangan impor produk yang sudah dapat diproduksi dalam negeri melalui PLB dan penerapan persyaratan impor setara dengan pelabuhan.
“Dibutuhkan juga pengawasan dalam praktik beli jual langsung ke pasar domestik yang dilakukan oleh pengusaha dalam PLB. Sebab, belum ada upaya membatasi pengusaha yang masuk PLB,” ucapnya.
Senada, Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil (Ikatsi) Suharno Rusdi menilai kehadiran Permendag Nomor 64 Tahun 2017 merupakan salah satu pelicin masuknya impor TPT. Meski diubah, ia bilang pengusaha perlu melihat implementasinya di lapangan. Ia menduga aturan baru masih memberikan celah permainan impor.
“Kami harus lihat di lapangan implementasinya seperti apa, jangan sampai hitam di atas kertas saja,” tuturnya.
Kalah dari Bangladesh dan Vietnam
Kondisi industri TPT di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Suharno mengatakan pertumbuhan ekspor TPT Indonesia kalah dibandingkan dengan Vietnam.
Pada 2018, ekspor Vietnam mencapai US$39,8 miliar, sedangkan Indonesia hanya US$13,2 miliar. Padahal, 10 tahun lalu ekspor Vietnam tercatat US$9,2 miliar sedangkan Indonesia kala itu berhasil unggul di angka US$10,1 miliar.
Tak hanya Vietnam, ekspor tekstil Indonesia juga disalip oleh Bangladesh yang mencapai US$67,1 miliar di 2018.
Ia menuturkan terpuruknya industri TPT dipicu berbagai faktor. Selain, terbitnya Permendag 64/2017 yang membuka pintu lebar bagi impor, ia bilang gempuran produk China membanjiri pasar dalam negeri akibat perang dagang AS-China.
Di sisi lain, kampanye negatif sunset industri pada tekstil menghalangi investasi asing yang masuk ke sektor ini. Imbasnya, industri tekstil cenderung tidak berkembang.
“Pemerintah Indonesia juga abai dengan pendidikan tinggi tekstil,” katanya.
Sebagai informasi, pada 2008, industri tekstil berhasil meraih surplus sebesar US$5,04 miliar. Namun, selang satu dekade, jumlahnya menyusut menjadi hanya US$3,2 miliar. (cnn)
Discussion about this post