KeuanganNegara.id- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap modus dugaan manipulasi layanan kesehatan dari sejumlah rumah sakit (RS) turut andil dalam terjadinya defisit keuangan BPJS Kesehatan. Manipulasi RS dilakukan dengan cara meningkatkan kelas layanan kepada pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan.
Sri Mulyani memaparkan, berdasarkan mekanisme yang diatur, peserta harus lebih dulu mendatangi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ketika ingin menggunakan program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan. Bila sakit yang dikeluhkan peserta masih bisa ditangani Puskesmas, peserta tidak perlu dirujuk ke RS.
“Saat ini ada 23.075 Puskesmas dengan 144 kompetensi penanganan sakit. Kalau tidak bisa ditangani Puskesmas, baru mereka dirujuk ke RS pusat maupun daerah,” ucap Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (21/8).
Ketika harus dirujuk, peserta akan menuju RS yang sesuai dengan kelas kepesertaan, dari A, B, C, hingga D. Sayangnya, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sejumlah RS yang berstatus kelas D banyak yang mengklaim sudah naik ke kelas C.
Menurutnya, ketika kelas RS meningkat, maka jenis layanan yang diberikan juga kerap ditingkatkan. Hal ini membuat biaya layanan kesehatan ikut terkerek oleh jenis kelas dan layanan.
“Hasil temuan BPKP adalah ada RS golongan bawah (kelas D) yang mengaku C, supaya pendapatan per unitnya besar. Temuan BPKP ada penggolongan mereka yang main ke atas, makanya kami minta menteri kesehatan untuk review (kaji) kelas ini,” katanya.
Bendahara negara mengatakan hal ini secara otomatis akan mengerek biaya layanan kesehatan yang harus dibayar oleh peserta melalui BPJS Kesehatan. Padahal, peserta seharusnya bisa mendapatkan layanan kesehatan dengan kelas dan biaya yang lebih rendah tanpa mengurangi penanganan yang perlu didapatkan.
Data dari hasil audit BPKP mencatat jumlah peserta yang mendapat layanan dari RS dalam bentuk rawat jalan mencapai 76,8 juta peserta pada 2018. Lalu, jumlah peserta yang mendapat layanan rawat inap sebanyak 9,7 juta peserta.
Sementara, jumlah peserta yang dilayani Puskesmas mencapai 147,4 juta peserta. Secara total, tahun lalu, jumlah peserta yang dilayani program JKN-KIS dari BPJS Kesehatan sebanyak 233,9 juta peserta.
“Nilai frekuensi per manfaat per hari sebesar Rp640 ribu per peserta,” tuturnya.
Kondisi tersebut memberi andil pada defisit keuangan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp19,4 triliun pada 2018. Dari defisit itu, pemerintah akhirnya memberi suntikan senilai Rp10,3 triliun kepada PT Asuransi Kesehatan alias Askes itu.
Sementara sisanya, Rp9,1 triliun, mau tidak mau dialihkan ke tahun ini dengan mengharap sumber dana dari berbagai bauran kebijakan yang sudah dipetakan, termasuk iuran peserta hingga Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Rokok.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Setyawaty mengatakan pihak asosiasi tidak bisa melakukan intervensi terhadap penentuan kelas dan layanan yang diberikan RS. Sebab, penentuan itu sepenuhnya merupakan wewenang dari dinas kesehatan di masing-masing kota dan kabupaten di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Sayangnya, defisit keuangan BPJS Kesehatan pada tahun ini tak hanya berasal dari pengalihan tahun lalu, namun juga meningkat dari besarnya beban tanggungan. Proyeksinya, defisit keuangan tahun ini mencapai Rp28 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI Indah Kurnia meminta pemerintah segera melakukan evaluasi kelas dan layanan RS bila manipulasi ini sudah terbukti memberi tambahan beban kepada BPJS Kesehatan. Sebab, menurutnya, ini merupakan bentuk moral hazard dari RS terhadap penggunaan uang negara.
Selain itu, bila ini terus terjadi persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan tidak akan pernah selesai. Bahkan, ia mendesak pemerintah untuk tak segan memberi sanksi kapad RS yang terbukti melakukan manipulasi itu.
“Kalau ada RS yang berikan upgrading perawatan kepada pasien, itu harus ditindak karena ini berkaitan dengan biaya dan klaim,” tuturnya pada kesempatan yang sama.
Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. “Jadi tipe kelas RS, bukan RS yang menentukan,” ucapnya.
Selain itu, sambungnya, BPJS Kesehatan seharusnya juga sudah melakukan koordinasi dan kesepakatan dengan masing-masing rumah sakit terkait pemberian layanan kesehatan. Hal ini biasanya tertuang dalam perjanjian kerja sama antar kedua pihak.
Lebih lanjut ia mengatakan Kemenkes sejatinya tengah melakukan evaluasi kelas 615 RS. Bila ada perubahan, masing-masing RS diberikan batas waktu sanggah. Rencananya, hasil evaluasi akan dikeluarkan pada 28 Agustus mendatang.
“Kami tunggu hasil validate yang akan keluar dari Kemenkes sebagai badan yang menentukan kelas RS,” pungkasnya. (cnn)
Discussion about this post