[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Bank Indonesia (BI) menyatakan penurunan tingkat suku bunga kredit dan deposito bank masih kurang. Padahal, hal ini sedikit banyak mempengaruhi tingkat permintaan kredit dari masyarakat dan dunia usaha di tengah tekanan perekonomian akibat pandemi virus corona atau Covid-19.
“Transmisi suku bunga pasar telah berjalan, (penurunan) suku bunga deposito sudah berjalan, tapi kurang, terhadap kredit juga masih kurang,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Berdasarkan data bank sentral nasional, tingkat suku bunga kredit modal kerja bank baru turun 35 basis poin (bps) menjadi 10,07 persen pada Februari 2020. Sementara tingkat bunga deposito bank turun 67 bps menjadi 6,16 persen pada bulan yang sama.
Sedangkan penurunan bunga acuan BI sudah mencapai 150 bps dari 6 persen pada Juni 2019 menjadi 4,5 persen pada Maret 2020. Khusus bulan lalu, BI sudah menurunkan bunga acuan sebanyak 25 bps.
Di sisi lain, BI juga sudah memberikan kebijakan stimulus likuiditas berupa penurunan batas pencadangan kas bank di bank sentral nasional atau dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM). Dengan kebijakan ini, bank bisa menggunakan kas yang selama ini ‘dipendam’ di BI untuk menyalurkan permintaan kredit.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah melonggarkan tingkat kolektabilitas nasabah bank. Kebijakan ini membuat penilaian atas pengembalian kredit nasabah hanya terpaku pada kemampuannya membayar pokok kredit dan bunga saja.
Pertimbangan prospek usaha nasabah dan kinerja laporan keuangan tak perlu dipusingkan bank. “Berbagai langkah efisiensi dilakukan oleh OJK maupun kami agar bagaimana mempercepat penurunan suku bunga kredit. Alhamdulillah ini menurun, tapi masih perlu didorong lebih lanjut,” katanya.
Pangkas Proyeksi
Di sisi lain, BI turut menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit dan deposito bank pada tahun ini karena tekanan ekonomi dari pandemi virus corona. Sebab, permintaan kredit dari masyarakat dan dunia usaha diperkirakan bakal lesu.
Proyeksinya, pertumbuhan kredit bank hanya mencapai kisaran 6 persen sampai 8 persen dari target awal 10 persen sampai 12 persen. Sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) diperkirakan cuma tumbuh 6 persen hingga 8 persen dari target awal 8 persen hingga 10 persen.
Dari sisi kredit, Perry menjelaskan proyeksi pertumbuhan mempertimbangkan dua faktor, yaitu penawaran kredit dari bank dan permintaan dari masyarakat dan dunia usaha. Sebenarnya, menurut Perry, sisi penawaran kredit dari bank seharusnya tidak bermasalah.
Sebab, tingkat likuiditas sejatinya mencukupi. Apalagi, BI terus membuka sumber penambahan likuiditas bagi bank, misalnya dengan pelonggaran ketentuan GWM.
“Tapi permasalahan yang kami hadapi adalah permintaan kredit dengan menurunkan prospek ekonomi, tentu permintaan kredit juga akan menurun, apalagi jangka pendek terjadi gangguan distribusi dan pasokan bahan baku impor maupun ekspor,” jelasnya.
Namun, menurut Perry, pertumbuhan kredit dari sisi permintaan masyarakat dan dunia usaha sebenarnya bisa tidak begitu anjlok karena stimulus yang sudah diberikan pemerintah. Salah satunya, gratis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekerja industri manufaktur selama enam bulan.
Selain itu, pemerintah juga mempercepat penyaluran bantuan sosial (bansos), sehingga masyarakat memiliki tambahan pendapatan. Kemudian, tingkat inflasi juga diupayakan tetap rendah agar menjaga daya beli masyarakat.
“Ke depannya kami terus lakukan agar bagaimana memperkuat data tahan ekonomi kami agar bisa terus menjaga aktivitas perekonomian dan memanfaatkan momentum pertumbuhan,” pungkasnya. (cnn)
Discussion about this post