[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai penentuan harga bijih mentah (ore) nikel yang dijual kepada perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri seharusnya menjadi wewenang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Wakil Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan kebijakan yang baru saja dikeluarkan BKPM terkait harga patokan nikel akan membuat kebijakan antar kementerian/lembaga (K/L) menjadi tumpang tindih. Apalagi, Kementerian ESDM sudah memiliki aturan mengenai harga nikel yang tercantum dalam harga patokan mineral (HPM) dan dirilis setiap bulan melalui keputusan menteri (kepmen) ESDM.
“Ini tidak ada tupoksi-nya (tugas pokok dan fungsi) di BKPM. Ini kan di Kementerian ESDM, mereka yang menerbitkan harga acuan,” kata Irawan.
Ia mengaku tidak kontra dengan penetapan harga minimal dan maksimal untuk penjualan nikel di dalam negeri. Hanya saja, ia khawatir kebijakan yang tumpang tindih ini akan membuat investor nantinya kebingungan.
“Karena kan membuat smelter itu mahal. Sementara dia ada kontrak harus membukukan keuntungan dalam beberapa tahun. Kalau nikel terlalu mahal kan berarti berpengaruh pada beban biaya,” ucapnya.”Jangan sampai ada persinggungan antar kementerian dan lembaga. Arahan siapa pun itu harus dilakukan sesuai porsinya,” terang dia.
Senada, Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman menyatakan kebijakan yang dikeluarkan BKPM bisa mengganggu iklim usaha di dalam negeri. Menurutnya, ini harus harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan ESDM.
“Bisa pada kabur semua investor kalau dia sampai berpikir pemerintah tidak konsisten terkait aturan dan kebijakannya,” imbuhnya.
Di sisi lain, Anggota DPR Ridwan Hisjam menyatakan apa yang dilakukan BKPM justru untuk melindungi investor smelter di dalam negeri. Pasalnya, harga patokan yang diputuskan BKPM akan membuat investor tenang jika harga nikel sedang melambung.
Hanya saja, ia berpandangan lebih baik penetapan harga dikembalikan ke skema pasar. Ketika harga nikel turun, maka pengusaha smelter bisa membelinya dengan harga murah dan keuntungan penambang turun.
“Tapi kan kalau harga nikel sedang naik, penambang juga akan menikmati untungnya,” kata Ridwan.
Sebagai informasi, BKPM mematok harga nikel maksimal US$30 per metrik ton hingga 31 Desember 2019. Sementara itu, harga minimal ditetapkan di posisi US$27 per metrik ton.
Harga tersebut sesuai kesepakatan dengan Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I).
Ketua BKPM Bahlil Lahadalia menuturkan formulasi harga tersebut mengacu kepada harga ore nikel internasional, dikurangi dengan biaya pengapalan (transhipment) dan bea masuk.
“Hitungannya kurang lebih sekitar US$30 per metrik ton dan itu semua sepakat tidak ada yang tidak sepakat,” jelas Bahlil. (cnn)
Discussion about this post