Keuangan Negara
  • Hot News
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • BUMN & BUMD
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • E-commerce
    • Finansial
  • Hukum
    • Daftar
    • Pemeriksaan
    • Pengadilan
  • Investasi
  • Dasar Pengetahuan
No Result
View All Result
  • Hot News
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • BUMN & BUMD
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • E-commerce
    • Finansial
  • Hukum
    • Daftar
    • Pemeriksaan
    • Pengadilan
  • Investasi
  • Dasar Pengetahuan
  • Login
No Result
View All Result
Keuangan Negara
No Result
View All Result
Home Nasional

Jangan Berharap Damai Dagang Desember, Ini Perang Hegemoni!

Keuangan Negara Indonesia by Keuangan Negara Indonesia
2019-12-28
in Nasional
Reading Time: 3 mins read
A A
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]

KeuanganNegara.id-Sejak Oktober lalu ketika muncul rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China meneken kesepakatan dagang pada November, saya termasuk pihak yang tidak percaya bahwa damai dagang akan dicapai pada bulan tersebut.

Alasannya satu, tapi prinsipal. Presiden AS Donald Trump ingin China menyetujui semua keinginannya mulai dari revisi ketentuan di China sekarang yang “mewajibkan” transfer atas hak kekayaan intelektual (HAKI), penghentian “pencurian teknologi” AS, hingga normalisasi kurs yuan. Semuanya dirangkum dalam istilah “praktik perdagangan curang.”

Bagi China, negara besar yang memiliki populasi (pasar) terbesar dunia, permintaan itu adalah tuduhan yang menusuk ego mereka. Pertama, transfer HAKI dan pencurian teknologi sejauh ini memang tuduhan yang belum berbukti. Ketika China tunduk pada keinginan AS tersebut, sama saja dia mengakui kebenaran tuduhan tersebut. 


South China Morning Post
menyebutkan bahwa tuduhan tersebut muncul berdasarkan hasil survei yang dilakukan American Chamber of Commerce dan US Trade Representatives (USTR) terhadap pengusaha AS di China. Faktanya, regulasi Beijing memberi pilihan bagi investor asing mengembangkan skala bisnisnya di China (berdasarkan tingkat kesediaan mereka melakukan transfer teknologi).

Beijing juga menampik adanya pencurian teknologi. Yang terjadi, menurut mereka, adalah praktik awam di semua negara berupa pembelian lisensi teknologi untuk dikembangkan dalam fasilitas riset internal guna membangun produk teknologi baru.

Lalu mengapa AS ngotot menuntut “reformasi” mengenai HAKI dan teknologi?

Sulit untuk tidak mengaitkannya dengan fakta bahwa China hendak mengembangkan ambisi hegemoninya dalam supply chain Revolusi Industri 4.0 di tingkat global. Hal ini telah menjadi visi Perdana Menteri China Li Keqiang pada 2015 yang bertajuk “Made in China 2025”.

Apakah China akan tinggal diam dan tunduk begitu saja ketika visi nasionalnya itu hendak diserang dan dipatahkan oleh AS? Saya yakin tidak. Terutama, ketika posisi tawar mereka terlihat menguat jika mengacu pada pernyataan Huawei bahwa mereka siap berkembang meski tanpa dukungan Google. 

Ekspektasi damai dagang November pun terbukti menguap dan “ditunda” dengan munculnya ekspektasi baru bahwa damai dagang bakal dicapai Desember ini, karena China ingin menghindari “hukuman” tarif yang bakal diberlakukan oleh Trump pada 15 Desember nanti.

Jika kita perhatikan, tarif yang bakal berlaku bulan ini menyasar produk telepon seluler, komputer, dan barang-barang konsumer yang terkait dengan visi “Made in China 2025”. Namun lagi-lagi yang bakal terkena dampaknya adalah entitas AS mengingat korporasi AS banyak yang memiliki basis operasi dan pasar di Negeri Panda tersebut.

Sebut saja Apple yang mencatatkan pendapatan US$ 9 miliar pada kuartal III-2019 dari China, alias US$3 miliar per bulannya. Angka ini turun US$ 400 juta jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu, tatkala perang dagang di masa itu belum sepanas sekarang.

Sanksi AS Menyakiti Dirinya Sendiri

Data resmi pemerintah China menyebutkan bahwa laba korporasi AS yang beroperasi di China mencapai US$ 39 miliar atau setara dengan Rp 546 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) pada 2016. Mereka tidak hanya menjual produk pabrikannya di Negeri Tirai Bambu tersebut, melainkan juga mengekspornya ke banyak negara, termasuk Indonesia.

Setelah AS menaikkan tarif produk impor asal China menjadi 25% pada putaran pertama perang dagang, dampaknya terhadap perekonomian China sangat kecil. Ekspor China memang anjlok 13% per September 2019. Namun para periode yang sama, ekspor AS merosot dalam laju yang lebih cepat yakni 15%.

Jika kita sesuaikan konteksnya, yakni dibandingkan dengan skala ekonomi keduanya, penurunan itu terhitung kecil. Kurang dari 0,3% PDB kedua negara. China baru-baru ini malah merilis obligasi US$ 6 miliar, mencatatkan kelebihan permintaan 3,6 kali yang mengindikasikan investor global masih percaya dengan prospek ekonomi Negeri Panda.

Oleh karena itu, lagi-lagi, saya yakin tahun ini kita tidak akan melihat kesepakatan final yang bakal menuntaskan duri-onak dalam hubungan dagang kedua negara berperekonomian terbesar di dunia itu. Kalaupun ada kesepakatan, kemungkinan hanyalah sebatas komitmen melanjutkan negosiasi, atau kesepakatan parsial tentang beberapa isu pinggiran.

Apapun “kesepakatan” yang diraih pada Desember ini, risiko ketegangan kedua negara itu masih ada selama problem struktural yang melatarbelakanginya, yakni persaingan hegemoni antara kedua negara di bidang IT, tidak terselesaikan.

Apalagi perang tarif sudah memasuki perang politik ketika AS secara resmi mendukung perjuangan aktivis Hong Kong, yang membuat Beijing murka. “Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab,” tegas Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.

Skenario yang mungkin terjadi adalah China menjaga status quo dengan menarik-ulur negosiasi perdagangan hingga tahun depan, agar publik AS melihat bahwa perang dagang mulai berdampak negatif terhadap mereka (meski juga memukul China). Akumulasi sentimen negatif ini bisa memukul elektabilitas Trump.

Dalam hal ini, China tentu saja unggul dibandingkan AS karena tak memiliki risiko perubahan (kebijakan) kepemimpinan, sedangkan AS akan menghadapi pemilu pada tahun depan. Ada peluang Trump habis secara politik dan sikap hawkish pemerintah AS bisa berubah.

Sayangnya, sejauh ini pelaku pasar hanya fokus pada problem di tataran formal yakni pengenaan (atau penundaan) kenaikan tarif. Ketika ada hawa-hawa damai, maka bursa menguat, demikian juga sebaliknya.

Jika tidak ada tanda-tanda de-eskalasi pada Desember, maka pertarungan bakal beralih pada tahun depan dengan tensi yang jauh lebih memanas, antara Trump yang ingin segera mengangkat tanda “Victory” terhadap China jelang Pemilu, dan China yang ingin Trump terdiskreditkan di kalangan pemilih AS akibat perang dagangnya.(cnbcindonesia)

Share this:

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
Tags: Opini
Previous Post

Dirut Jiwasraya ‘Endus’ Skema Ponzi di Produk JS Saving Plan

Next Post

Pemenang Lelang Bandara Komodo Diumumkan, Menkeu Berharap Raih Lebih Banyak Kepercayaan Asing

Keuangan Negara Indonesia

Keuangan Negara Indonesia

Keuangan Negara provides the latest economic, business, e-commerce, start-up, stock market, financial and all entrepeneur news from around Indonesia.

Next Post

Pemenang Lelang Bandara Komodo Diumumkan, Menkeu Berharap Raih Lebih Banyak Kepercayaan Asing

Discussion about this post

Stay Connected

  • Trending
  • Comments
  • Latest

Gaji Terusan

2018-04-26

Siklus Anggaran

2018-04-26

Laporan Operasional

2018-04-26

Menu-menu pada Aplikasi OM-SPAN

2018-04-26

Kenapa Anda Baru Ribut Soal Utang Indonesia Sekarang? 42 Tahun Anda Kemana?

0

Jokowi Targetkan Kemudahan Berbisnis 40 Besar Dunia Tahun 2019

0

Presiden Jokowi: APBN-P 2017, Prioritaskan Program Yang Berdampak Langsung Bagi Masyarakat

0

Menkeu: Capai Target Sekaligus Jaga Iklim Bisnis

0

Kemenkeu Sebut Program Tapera Bisa Diikuti Peserta yang Punya Rumah

2021-06-30

Ramalan BI soal Tapering Off The Fed dan Siasat Mengantisipasinya

2021-06-30

OJK Pastikan Pinjol Legal Tidak Bisa Akses Kontak dan Galeri HP Debitur

2021-06-30

SKK Migas: Tujuh Proyek Hulu Migas Senilai Rp 21,12 Triliun Rampung

2021-06-30

Recent News

Kemenkeu Sebut Program Tapera Bisa Diikuti Peserta yang Punya Rumah

2021-06-30

Ramalan BI soal Tapering Off The Fed dan Siasat Mengantisipasinya

2021-06-30

OJK Pastikan Pinjol Legal Tidak Bisa Akses Kontak dan Galeri HP Debitur

2021-06-30

SKK Migas: Tujuh Proyek Hulu Migas Senilai Rp 21,12 Triliun Rampung

2021-06-30

Tentang Keuangan Negara

Keuangan Negara menyajikan berita terbaru keuangan negara, ekonomi, bisnis, e-commerce, start-up, finansial, dan entrepreneur yang bersumber dari berbagai situs dan narasumber resmi

Follow Us

Menjadi Penulis

Keuangan Negara membuka kesempatan kepada siapapun dengan latar belakang apapun untuk bergabung menjadi kontributor.

Bagi yang ingin bergabung menulis, kirimkan contoh artikelnya ke email [email protected]

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi halaman berikut ini.

Telusuri Berdasarkan Kategori

  • Artikel
  • Bisnis
  • BUMN & BUMD
  • Daerah
  • Daftar
  • Dasar Pengetahuan
  • E-commerce
  • Ekonomi
  • Finansial
  • Hot News
  • Hukum
  • Internasional
  • Investasi
  • Nasional
  • Pemeriksaan
  • Pengadilan
  • Tanya & Jawab
  • Tentang Kami
  • Menjadi Penulis
  • Pedoman Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Advertising

© 2017 Keuangan Negara

No Result
View All Result
  • Hot News
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • BUMN & BUMD
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • E-commerce
    • Finansial
  • Hukum
    • Daftar
    • Pemeriksaan
    • Pengadilan
  • Investasi
  • Dasar Pengetahuan
  • Login

© 2017 Keuangan Negara

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In