[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Sejak Oktober lalu ketika muncul rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China meneken kesepakatan dagang pada November, saya termasuk pihak yang tidak percaya bahwa damai dagang akan dicapai pada bulan tersebut.
Alasannya satu, tapi prinsipal. Presiden AS Donald Trump ingin China menyetujui semua keinginannya mulai dari revisi ketentuan di China sekarang yang “mewajibkan” transfer atas hak kekayaan intelektual (HAKI), penghentian “pencurian teknologi” AS, hingga normalisasi kurs yuan. Semuanya dirangkum dalam istilah “praktik perdagangan curang.”
Bagi China, negara besar yang memiliki populasi (pasar) terbesar dunia, permintaan itu adalah tuduhan yang menusuk ego mereka. Pertama, transfer HAKI dan pencurian teknologi sejauh ini memang tuduhan yang belum berbukti. Ketika China tunduk pada keinginan AS tersebut, sama saja dia mengakui kebenaran tuduhan tersebut.
South China Morning Post menyebutkan bahwa tuduhan tersebut muncul berdasarkan hasil survei yang dilakukan American Chamber of Commerce dan US Trade Representatives (USTR) terhadap pengusaha AS di China. Faktanya, regulasi Beijing memberi pilihan bagi investor asing mengembangkan skala bisnisnya di China (berdasarkan tingkat kesediaan mereka melakukan transfer teknologi).
Beijing juga menampik adanya pencurian teknologi. Yang terjadi, menurut mereka, adalah praktik awam di semua negara berupa pembelian lisensi teknologi untuk dikembangkan dalam fasilitas riset internal guna membangun produk teknologi baru.
Lalu mengapa AS ngotot menuntut “reformasi” mengenai HAKI dan teknologi?
Sulit untuk tidak mengaitkannya dengan fakta bahwa China hendak mengembangkan ambisi hegemoninya dalam supply chain Revolusi Industri 4.0 di tingkat global. Hal ini telah menjadi visi Perdana Menteri China Li Keqiang pada 2015 yang bertajuk “Made in China 2025”.
Apakah China akan tinggal diam dan tunduk begitu saja ketika visi nasionalnya itu hendak diserang dan dipatahkan oleh AS? Saya yakin tidak. Terutama, ketika posisi tawar mereka terlihat menguat jika mengacu pada pernyataan Huawei bahwa mereka siap berkembang meski tanpa dukungan Google.
Ekspektasi damai dagang November pun terbukti menguap dan “ditunda” dengan munculnya ekspektasi baru bahwa damai dagang bakal dicapai Desember ini, karena China ingin menghindari “hukuman” tarif yang bakal diberlakukan oleh Trump pada 15 Desember nanti.
Jika kita perhatikan, tarif yang bakal berlaku bulan ini menyasar produk telepon seluler, komputer, dan barang-barang konsumer yang terkait dengan visi “Made in China 2025”. Namun lagi-lagi yang bakal terkena dampaknya adalah entitas AS mengingat korporasi AS banyak yang memiliki basis operasi dan pasar di Negeri Panda tersebut.
Sebut saja Apple yang mencatatkan pendapatan US$ 9 miliar pada kuartal III-2019 dari China, alias US$3 miliar per bulannya. Angka ini turun US$ 400 juta jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu, tatkala perang dagang di masa itu belum sepanas sekarang.
Sanksi AS Menyakiti Dirinya Sendiri
Data resmi pemerintah China menyebutkan bahwa laba korporasi AS yang beroperasi di China mencapai US$ 39 miliar atau setara dengan Rp 546 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) pada 2016. Mereka tidak hanya menjual produk pabrikannya di Negeri Tirai Bambu tersebut, melainkan juga mengekspornya ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Setelah AS menaikkan tarif produk impor asal China menjadi 25% pada putaran pertama perang dagang, dampaknya terhadap perekonomian China sangat kecil. Ekspor China memang anjlok 13% per September 2019. Namun para periode yang sama, ekspor AS merosot dalam laju yang lebih cepat yakni 15%.
Jika kita sesuaikan konteksnya, yakni dibandingkan dengan skala ekonomi keduanya, penurunan itu terhitung kecil. Kurang dari 0,3% PDB kedua negara. China baru-baru ini malah merilis obligasi US$ 6 miliar, mencatatkan kelebihan permintaan 3,6 kali yang mengindikasikan investor global masih percaya dengan prospek ekonomi Negeri Panda.
Oleh karena itu, lagi-lagi, saya yakin tahun ini kita tidak akan melihat kesepakatan final yang bakal menuntaskan duri-onak dalam hubungan dagang kedua negara berperekonomian terbesar di dunia itu. Kalaupun ada kesepakatan, kemungkinan hanyalah sebatas komitmen melanjutkan negosiasi, atau kesepakatan parsial tentang beberapa isu pinggiran.
Apapun “kesepakatan” yang diraih pada Desember ini, risiko ketegangan kedua negara itu masih ada selama problem struktural yang melatarbelakanginya, yakni persaingan hegemoni antara kedua negara di bidang IT, tidak terselesaikan.
Apalagi perang tarif sudah memasuki perang politik ketika AS secara resmi mendukung perjuangan aktivis Hong Kong, yang membuat Beijing murka. “Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab,” tegas Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
Skenario yang mungkin terjadi adalah China menjaga status quo dengan menarik-ulur negosiasi perdagangan hingga tahun depan, agar publik AS melihat bahwa perang dagang mulai berdampak negatif terhadap mereka (meski juga memukul China). Akumulasi sentimen negatif ini bisa memukul elektabilitas Trump.
Dalam hal ini, China tentu saja unggul dibandingkan AS karena tak memiliki risiko perubahan (kebijakan) kepemimpinan, sedangkan AS akan menghadapi pemilu pada tahun depan. Ada peluang Trump habis secara politik dan sikap hawkish pemerintah AS bisa berubah.
Sayangnya, sejauh ini pelaku pasar hanya fokus pada problem di tataran formal yakni pengenaan (atau penundaan) kenaikan tarif. Ketika ada hawa-hawa damai, maka bursa menguat, demikian juga sebaliknya.
Jika tidak ada tanda-tanda de-eskalasi pada Desember, maka pertarungan bakal beralih pada tahun depan dengan tensi yang jauh lebih memanas, antara Trump yang ingin segera mengangkat tanda “Victory” terhadap China jelang Pemilu, dan China yang ingin Trump terdiskreditkan di kalangan pemilih AS akibat perang dagangnya.(cnbcindonesia)
Discussion about this post