KeuanganNegara.id – Dalam pidato Rancangan APBN (RAPBN) 2018, Presiden memaparkan perekonomian global tahun 2018 diproyeksikan mengalami pertumbuhan moderat (4,8% di negara berkembang dan 1,9% di negara maju) dengan volume perdagangan dunia berkisar 3,8%-3,9%. Perlambatan masih muncul seiring dengan meningkatnya proteksionisme perdagangan, penguatan dolar AS yang akan memicu pembalikan modal di negara berkembang. Selain itu, perlambatan terjadi juga karena lesunya harga komoditas, risiko geopolitik dampak Brexit, serta isu penuaan populasi di beberapa negara maju.
Perekonomian Indonesia sendiri pada 2018 diperkirakan mencapai 5,4%, lebih tinggi dibandingkan proyeksi 2017 sekitar 5,2% atau bahkan 2016 yang hanya 4,9%. Pencapaian tersebut ditopang beberapa kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui belanja sosial (Bansos) yang semakin efektif dan tepat sasaran, melalui Program Keluarga Harapan (PKH), Rastra, KIP serta belanja kesehatan. Dari sisi konsumsi pemerintah, diupayakan kebijakan belanja yang mengatasi ketimpangan dan kemiskinan dengan perbaikan dan percepatan penyerapan anggaran pemerintah. Sementara dari sisi investasi, pembangunan infrastruktur dasar akan terus dijalankan dengan lebih menyinergikan peran BUMN dan swasta demi mendorong ekspor yang memiliki multiplier besar.
Belanja Negara ditetapkan Rp2.204,4 triliun dengan target Pendapatan Negara sekitar Rp1.878,4 triliun. Kebutuhan pembiayaan mencapai Rp325,9 triliun atau 2,19% PDB, turun dibandingkan defisit 2017 mencapai 2,67% PDB. Defisit keseimbangan primer menurun drastis dari Rp144,3 triliun (2017) menjadi Rp78,4 triliun (RAPBN 2018) dengan porsi pembiayaan investasi mencapai Rp65,7 triliun. Penerimaan perpajakan ditargetkan naik menjadi Rp1.609,4 dari Rp1.472,7 di tahun 2017. Sementara belanja pemerintah pusat Rp1.443,3 triliun serta Transfer ke Daerah & Dana Desa sebesar Rp761,1 triliun.
Bansos yang berdaya dan berguna
Jika mencermati kebijakan belanja pemerintah pusat, banyak pihak menyoroti tingginya anggaran belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) khususnya belanja sosial (Bansos). Pada 2018, rencananya jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) dari PKH dinaikkan menjadi 10 juta dari sebelumnya 6 juta (2017). Alokasi anggarannya meningkat 56% menjadi Rp17,3 triliun (2018). Sementara itu, anggaran kartu pangan mencapai Rp13,5 triliun untuk 10 juta penerima sebagai mekanisme penggantian kebijakan Rastra yang baru tersalurkan 1,28 juta keluarga pada 2017. Lalu, anggaran belanja kesehatan tercatat Rp25,5 triliun untuk 92,4 juta orang, dan program Indonesia pintar sebesar Rp10,8 triliun.
Beberapa pihak kemudian mengkhawatirkan kenaikan belanja-belanja tersebut lebih didorong oleh motif politik khususnya menjelang tahun 2019. Apalagi praktek yang sama sudah berulang kali terjadi di level daerah selama proses Pilkada serentak. Sudah menjadi rahasia umum jika mendekati tahun politik, banyak Kepala Daerah petahana khususnya, membanjiri masa dengan Bansos yang bergelimang.
Namun demikian, sekiranya asumsi tersebut layak untuk ditepis karena pemerintah lebih mengutamakan aspek peningkatan efisiensi dan efektivitas kebijakan sosial kepada masyarakat. Seperti yang berkali-kali disampaikan Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan tentang strategi besar mengatasi persoalan kesenjangan dan kemiskinan via kebijakan pertumbuhan yang inklusif. Pertumbuhan inklusif dimaknai sebagai paket kebijakan yang berisi peningkatan produktivitas dan daya saing, didukung institusi birokrasi yang bersih dan efektif serta tata kelola pemerintahan yang melayani. Pendanaan publik (APBN/APBD) akan berfungsi sebagai motor utama sehingga butuh APBN/APBD yang kredibel, efektif dan berdaya tahan.
Sejak 2017, APBN sudah disusun selaras dengan filosofi tersebut. Dengan strategi utama memacu pertumbuhan ekonomi, kebijakan yang dilakukan ialah mewujudkan pertumbuhan yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjaga APBN yang kredibel serta realistis, pengalokasian insentif bagi sektor strategis dan dukungan untuk menjaga konsumsi yang berketahanan. Kebijakan jangka pendek menengah yang dilakukan dengan kebijakan subsidi yang lebih baik serta belanja untuk kesejahteraan sosial.
Program subsidi tepat sasaran sudah dimulai pada Januari 2017, lalu Maret hingga Mei 2017 saat pemerintah mencabut subsidi listrik sebagian pelanggan 900 VA karena diindikasi tidak tepat sasaran. Nantinya yang berhak menerima subsidi listrik hanyalah pelanggan 450 VA. Sejak 14 Januari 2017, pemerintah juga meluncurkan program bantuan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) atau yang sekarang bernama beras untuk keluarga sejahtera (Rastra) non-tunai. Penyaluran bantuan Raskin non-tunai tersebut rencananya akan menyasar sekitar 1,4 juta keluarga kurang mampu.
Sama halnya dengan subsidi listrik, masalah ketidaktepatan sasaran penerima juga mendasari keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan menjadi non-tunai. Ditengarai masih banyak penduduk kategori mampu yang justru menikmati alokasi Rastra selain persoalan ketidaktepatan lainnya (frekuensi dan jumlah). Selanjutnya, hampir bersamaan dengan rencana penyaluran Rastra non-tunai, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan subsidi gas 3 kg secara elektronik. Dengan demikian, ke depan masyarakat akan menerima bantuan sosial pemerintah secara paket non-tunai (Rastra, subsidi listrik dan gas 3 kg) dalam sistem dompet elektronik (e-wallet). Harapannya program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah akan semakin efisien dan efektif.
Dengan mewujudkan keseluruhan agenda tersebut harapannya Indonesia mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan sesuai visi Indonesia Bangkit 2030!
Oleh Joko Tri Haryanto, peneliti Badan Kebijakan Fiskal
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Discussion about this post