KeuanganNegara.id -Kementerian Keuangan menyatakan, peran dari Bareskrim, BIN, dan Kejaksaan Agung menjadi sangat penting untuk eksekusi aset obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Namun jika sulit diwujudkan, Kemenkeu mengajak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memblokir akses keuangan para obligor.
“Kalau belum juga, kita akan kerja sama dengan Bank Indonesia dan OJK agar akses mereka terhadap lembaga-lembaga keuangan bisa dilakukan pemblokiran,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers, Jumat (4/6).
Menurut Sri Mulyani, ini bisa dilakukan karena nama- dan perusahaan para obligor jelas, sehingga pelacakan aset menjadi penting dan kewajibannya bisa diidentifikasi.
“Kerjasama dengan Kejaksaan, Bareskrim, BIN, Kemenkumham, ATR. Kita bisa tutup rapi aset mereka di dalam negeri cukup banyak dam signifikan,” katanya.
Secara keseluruhan, eks direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, pemerintah berharap dapat mengambil aset BLBI Rp 110 triliun dalam 3 tahun ke depan.
“Harapannya dalam tiga tahun ini sebagian besar atau keseluruhan bisa kita dapatkan aset tersebut,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakkan, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban ditunjuk pemerintah menjadi Ketua Satgas Harian BLBI.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah terus berupaya mengejar aset senilai Rp 110 triliun dari kasus BLBI yang terjadi pascakrisis 1998.
“Nanti dari ketua satgas harian yang akan menyampaikan Pak Rio ya data Rp 110 triliun, ini kan sebetulnya sudah ada diaudit oleh BPK. Jadi, ada tadi yang sesuai dengan 3 pokja,” ujarnya,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, sekaligus Pengarah Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, Mahfud MD mengungkapkan, pemerintah memiliki data dan informasi ada sejumlah aset serta obligor dan debitur dana BLBI yang saat ini berada di luar negeri.
Untuk itu Mahfud meminta kerja sama obligor dan debitur tersebut untuk membayar utang mereka kepada negara terkait dana BLBI.
Ia mengatakan, pemerintah mulai menagih piutang negara kepada para obligor atau pemilik bank yang pernah memperoleh dana BLBI dan debitur yang merupakan pemilik utang kepada bank yang pernah memperoleh dana BLBI.
“Menurut info sementara dari data yang kami punya memang ada beberapa aset dan orang, obligor atau debitur yang sekarang sedang berada di luar negeri, mohon kerja samanya,” kata Mahfud.
Ia mengingatkan pemerintah lewat satgas bisa menggunakan instrumen United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.
Mahfud menjelaskan, dengan demikian pemerintah bisa bekerja sama lintas negara untuk mengejar aset sekaligus obligor dan debitur dana BLBI tersebut di luar negeri.
“Yang juga instrumen internasional kita punya UNCAC, itu juga bisa dipakai. Kalau UNCAC itu kan pertama kerjasama lintas negara untuk memberantas korupsi, termasuk memburu koruptor. Kedua mengembalikan aset negara. Itu intinya. Dan itu bisa dipakai karena Indonesia sudah meratifikasi UNCAC,” kata Mahfud.
Dipidanakan
Mahfud juga membuka kemungkinan memidanakan obligor dan debitur dana BLBI yang membangkang untuk membayar utang mereka kepada negara.
Mahfud mengatakan mereka yang sengaja membangkang membayar utang kepada negara yang bersifat perdata tersebut akan ditindaklanjuti secara pidana apabila mereka tidak mau mengakui utang, memberi bukti palsu, atau selalu ingkar.
Mereka yang membangkang, kata dia, nantinya bisa dikatakan merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan melanggar hukum karena tidak mengakui terhadap apa yang secara hukum sudah disahkan sebagai utang.
“Kalau akan terjadi pembangkangan meskipun ini perdata, supaya untuk diingat bahwa kalau sengaja melanggar utang keperdataan ini bisa saja nanti berbelok ke pidana,” kata Mahfud.
Tidak hanya itu, kata Mahfud, upaya pembangkangan mereka untuk membayar utang kepada negara tersebut juga bisa dimasukkan ke dalam ranah tindak pidana korupsi.
Ia pun menegaskan pemerintah telah menyiapkan instrumen penegakan hukum baik dari Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri.
Mahfud pun membuka kemungkinan untuk bekerja sama dengan KPK jika dalam proses penagihan nanti ada upaya-upaya pembangkangan dari para obligor dan debitur untuk membayar utang negara tersebut
“Kita punya instrumen hukum di sini. Ada KPK dengan UU pemberantasan tindak pidana korupsinya, sehingga di sini ada Kejaksaan Agung, ada Bareskrim, kemudian nanti bisa juga KPK,” kata Mahfud.
Discussion about this post