KeuanganNegara.id– Bank Indonesia (BI) tengah menyusun kebijakan makroprudensial khusus untuk mendorong kinerja sektor manufaktur. Hal ini dilakukan agar bisa mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
“Saya belum bisa mengatakan di sini, tapi salah satu pemikiran BI nanti akan melalui kebijakan makroprudensial yang mendorong (industri) priority sectors,” jelas Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, Senin (12/8).
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dipacu lebih tinggi agar bisa keluar dari kelompok negara kelas menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju. Sebagai catatan, Bank Dunia menetapkan standar negara maju harus memiliki pendapatan per kapita sebesar US$12.235. Sementara, tahun lalu, pendapatan per kapita Indonesia baru US$3.840.
Hanya saja, upaya mengerek pertumbuhan ekonomi masih terhalang oleh defisit transaksi berjalan yang kian melebar. Transaksi berjalan yang defisit membuat ekonomi Indonesia rentan dengan kondisi ekonomi global. Ujung-ujungnya, Indonesia bisa kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi terus menerus dan sibuk melakukan stabilisasi ekonomi.
Kebijakan makroprudensial, sambung ia, bisa melengkapi berbagai pelonggaran yang dilakukan bank sentral. Sebelumnya, BI telah memangkas suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) dan menurunkan rasio Giro Wajib Minimum sebesar 50 basis poin agar penyaluran kredit bisa moncer ke pelaku usaha.Data BI menunjukkan defisit transaksi berjalan di kuartal II 2019 mencapai 3,04 persen dari Produk Domestik bruto (PDB) atau meningkat dibanding kuartal sebelumnya yakni 2,6 persen dari PDB.
Maka dari itu, Indonesia perlu struktur neraca transaksi berjalan yang kuat agar pertumbuhan ekonomi bisa tahan banting dari tekanan global.
Kinerja sektor manufaktur menjadi penting mengingat ekspor produk manufaktur bisa menjadi kunci penguatan neraca transaksi berjalan. Dody mengingatkan kinerja transaksi berjalan sangat erat kaitannya dengan neraca perdagangan.
“Surplus transaksi berjalan biasanya didorong oleh surplus neraca perdagangan dan pangsa ekspor yang lebih tinggi dari sektor manufaktur. Untuk alasan ini, memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan fokus ke sektor manufaktur akan tercermin pada angka ekspornya,” lanjut dia.
Ia harap, beberapa kebijakan tersebut bisa memotivasi pelaku usaha untuk melakukan ekspor. Apalagi, Presiden Joko Widodo selalu menekankan pentingnya ekspor dan investasi.
“Untuk quick win ekspor memang tidak bisa semuanya digarap, tapi kami melihat sektor unggulan seperti tekstil, alas kaki, dan otomotif bisa masuk ke pasar negara maju,” pungkas dia.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri pengolahan pada kuartal II 2018 hanya tumbuh 3,54 persen secara tahunan, melambat dibanding tahun lalu yakni 3,86 persen. Padahal, peran industri manufaktur terhadap perekonomian domestik merupakan yang terbesar dengan porsi 19,52 persen terhadap total PDB. (cnn)
Discussion about this post