KeuanganNegara.id- Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengejar pungutan pajak dari para pelaku usaha perdagangan elektronik (e-commerce) tahun depan. Hal ini dilakukan demi mengamankan target penerimaan negara yang mencapai Rp2.221,5 triliun.
Hal ini disampaikan Kepala Negara saat Rapat Pembukaan Masa Sidang I 2019-2020 dalam rangka penyampaian Pidato Presiden mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
“Pemerintah akan menempuh kebijakan penyetaraan level playing field bagi pelaku usaha konvensional maupun e-commerce untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan di era digital,” ucap Jokowi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (16/8).
Ia menjelaskan penghimpunan pajak perlu dilakukan lantaran selama ini para pelaku e-commerce masih banyak yang belum menyetor pajak kepada negara. Padahal, sebagai sesama pelaku usaha, mereka seharusnya turut membayar pajak kepada negara selayaknya para pelaku perdagangan fisik.
Lebih lanjut, penghimpunan pajak e-commerce perlu dilakukan demi mengamankan target penerimaan negara yang meningkat Rp79 triliun atau 3,68 persen dari target tahun ini sebesar Rp2.142,5 triliun. Maklum saja, penerimaan perpajakan merupakan penopang utama pos pendapatan negara.
Terlebih, kebutuhan belanja negara diproyeksi meningkat Rp88,8 triliun atau 3,63 persen dari Rp2.439,7 triliun tahun ini menjadi Rp2.528,5 triliun tahun depan.
Selain menghimpun pungutan pajak e-commerce, Kepala Negara juga akan meningkatkan pendapatan pajak dari perbaikan layanan pajak. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi perpajakan yang digaungkan sejak pemerintahan Kabinet Kerja.
“Pemerintah melanjutkan reformasi perpajakan berupa perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, serta penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan,” jelasnya.
Kemudian, pengisian kantong negara juga akan dioptimalkan melalui reformasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Misalnya, melalui penguatan regulasi dan penyempurnaan tata kelola dengan tetap menjaga kualitas pelayanan publik.
Kendati mengejar pungutan pajak, namun Jokowi memastikan pemerintah tetap akan menebar berbagai insentif pajak dalam rangka mendukung peningkatan daya saing dan investasi.
Hal ini dilakukan dengan memberikan perluasan tax holiday, tax allowance, investment allowance, super deductible tax, hingga pembebasan bea masuk dan subsidi pajak.Negara.id- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti penurunan kinerja penerimaan perpajakan pada tahun akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Penurunan tersebut mereka anggap telah memperlebar defisit anggaran.
Sorotan disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo pada Rapat Pembukaan Masa Sidang I 2019-2020. Rapat tersebut diselenggarakan dalam rangka penyampaian Pidato Presiden mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Bambang mengatakan penurunan kinerja penerimaan perpajakan tercermin dari realisasi penerimaan negara yang baru mencapai Rp898,8 triliun sepanjang Januari-Juni 2019. Realisasi itu baru mencapai 41,5 persen dari target penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp2.165,1 triliun.
Kinerja tersebut lebih rendah ketimbang Januari-Juni 2018 yang masih mampu mencapai 44 persen dari target. “Kenyataannya, realisasi semester I 2019 belum menunjukkan kinerja yang lebih baik dari tahun lalu. Kondisi ini disebabkan oleh kinerja perpajakan yang menurun,” ungkap Bambang di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (16/8).
Tercatat, penerimaan pajak baru mencapai Rp603,34 triliun atau 38,24 persen dari target Rp1.577,6 triliun. Sementara penerimaan dari kepabeanan dan cukai baru mencapai Rp85,6 triliun atau 40,99 persen dari target Rp208,82 triliun.
“Pertumbuhan (perpajakan) lebih rendah dari tahun lalu, yaitu 5,4 persen. Sementara pada tahun lalu dalam periode yang sama, perpajakan mampu tumbuh hingga 14,8 persen,” terangnya.
Penurunan kinerja penerimaan perpajakan ini, sambungnya, memicu pelebaran defisit anggaran pada Juni 2019. Defisit tercatat mencapai Rp135,8 triliun atau 0,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Padahal, defisit pada periode yang sama pada tahun lalu hanya mencapai 0,75 persen dari PDB. Untuk itu, Bambang meminta pemerintahan Jokowi ke depan agar betul-betul memperhatikan risiko dari pelebaran defisit keuangan yang berasal dari minimnya kinerja penerimaan perpajakan. (cnn)
Discussion about this post