KeuanganNegara.id– Kementerian Kesehatan sampai dengan saat ini masih belum juga mau merivisi aturan yang menghilangkan obat kanker usus besar dari daftar obat yang ditanggung BPJS Kesehatan. Padahal, beberapa waktu lalu DPR telah merekomendasikan kepada mereka untuk meninjau ulang penghapusan tersebut.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek menyatakan sampai dengan saat ini masih mengkaji rekomendasi DPR tersebut. Kajian dilakukan karena pihaknya bersikeras hasil studi menemukan bahwa obat kanker usus yang dihapus tersebut tidak benar-benar efektif meningkatkan kualitas hidup pasien.
Karena masih melakukan kajian tersebut, kementeriannya pun tidak akan mencabut Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.
“Kami sedang membicarakan bersama organisasi profesi dan harus ada bukti apakah betul itu dapat meningkatkan kualitas hidup, jadi belum ada bukti. Padahal ini harus bisa dibuktikan,” ujar Nila di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Nila mengatakan kajian ini setidaknya akan dilakukan maksimal satu tahun ke depan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi DPR yang sudah dikonsultasikan ke Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan memutuskan untuk menghilangkan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar obat yang ditanggung oleh layanan BPJS Kesehatan. Penghapusan yang berlaku 1 Maret 2019 lalu tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.
Dalam keputusan yang dikeluarkan 19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker.
Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar). Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Padahal, dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal sebanyak 12 kali.
Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang baru, pemberian diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau sampai terjadi terjadi perkembangan atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu.
Dalam keputusan menteri yang lama, peresepan diberikan maksimal 12 kali. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan penetapan obat yang masuk ke dalam formularium nasional tersebut sudah dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan masukan tim penilai.
Salah satu pertimbangan penilaiannya adalah dari sisi efektifitas harga dibandingkan dengan manfaat. Keputusan tersebut memancing reaksi dari sejumlah kalangan.
Salah satunya, Ketua DPR Bambang Soesatyo. Ia meminta Kemenkes untuk meninjau kembali keputusan mengeluarkan dua jenis obat kanker usus besar dari daftar layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Sebab, menurutnya, hal ini bertentangan dengan Pasal 22 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa jaminan kesehatan mempunyai sifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
“Prinsipnya kami mendorong pemerintah untuk mencarikan solusi terbaik dengan tidak menurunkan standar mutu pelayanan kesehatan, mengingat terhadap obat kanker yang dihapus tersebut tidak memiliki pengganti yang lain kecuali dua obat yang sudah tidak dijamin lagi,” ucapnya. (cnn)
Discussion about this post