[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id-Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 dari bank sentral sudah dimasukkan bersama ke dalam skenario-skenario outlook indikator utama makroekonomi imbas merebaknya penyebaran virus korona (covid-19) di Indonesia.
Skenario itu disusun bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam ruang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam skenario yang disusun tersebut terdapat skenario berat dan sangat berat.
Dalam skenario berat yang diputuskan KSSK, pertumbuhan ekonomi menjadi hanya 2,3 persen. Padahal pada asumsi dasar ekonomi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pertumbuhan ekonomi ditarget sebesar 5,3 persen.
“Skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 ini diperkirakan 2,3 persen. Skenario itu adalah skenario yang memang hasil pembahasan kita, hasil pembahasan antara BI, Kemenkeu, OJK, dan LPS yang kita rapatkan di akhir Maret,” ujar Perry dalam telekonferensi di Jakarta.
Skenario berat tersebut berdasarkan hasil pertimbangan dan masukan Satgas Covid-19 yang memperkirakan puncak kasus virus korona terjadi pada Juni dan Juli 2020. Adapun masa darurat bencana akibat covid-19 ditetapkan hingga 29 Mei 2020.
Dijelaskan Perry, perkiraan puncak kasus covid-19 tersebut membuat KSSK sepakat untuk menetapkan skenario berat sebagai indikator utama makroekonomi sepanjang tahun. Termasuk proyeksi pertumbuhan ekonomi per kuartal.
Pada kuartal I-2020, skenario berat memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di level 4,7 persen. Sementara kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi RI diramal anjlok ke 1,1 persen.
“Di kuartal III-2020 pertumbuhan ekonominya adalah 1,3 persen, dan kemudian naik di kuartal IV-2020 menjadi 2,4 persen,” ungkapnya.
Menurutnya, skenario-skenario berat yang disusun tersebut menjadi acuan dan respons KSSK untuk menelurkan langkah dan kebijakan lanjutan terkait penanganan covid-19 di Indonesia.
“Itulah yang mendasari kenapa perlu stimulus fiskal yang membuat defisit fiskal menjadi 5,07 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau tambahan dari belanja fiskal Rp405,1 triliun yang antara lain untuk mengatasi biaya kesehatam, social safety nett, maupun untuk pemulihan ekonomi,” tutup Perry.(msn)
Discussion about this post