[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Hasil riset Jenna Jambeck (2015), seorang peneliti dari Universitas Georgia, mengungkapkan Indonesia sebagai negara penyumbang sampah laut dari plastik nomor dua terbesar setelah Tiongkok dengan jumlah sebesar 187,2 juta ton. Produksi plastik setiap tahunnya sekitar 8% dari hasil produksi minyak bumi dunia atau ekuivalen 12 juta barel. Namun sayangnya hanya 14% dari sampah plastik tersebut yang dapat didaur ulang, sebagaimana data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) tahun 2018.
Sampah plastik menjadi bom waktu yang dapat mempercepat kerusakan ekosistem laut. Hal ini menjadi penghambat agenda pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goal’s (SDG’s) 2030 dan komitmen Kesepakatan Paris 2015 untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terjaga positif dan bersaing dengan negara G20, hendaknya mampu diimbangi dengan pelestarian lingkungan sebagai salah satu pilar triple bottom line dari John Elkington (1994), atau yang lebih dikenal dengan konsep 3P (profit, people, planet).
Upaya pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tugas pemerintah, partisipasi warga negara dalam gerakan diet kantong plastik juga perlu terus dijaga. Pelaku usaha kuliner yang memberikan dukungan serupa, semisal dengan memberikan diskon bagi konsumen yang membawa tempat makan/minum sendiri, atau Pemerintah Daerah yang menjadikan botol air mineral bekas sebagai tiket bus kota, menjadi contoh sinergi dan aksi nyata menjaga planet.
Salah satu wujud konkrit kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dalam pancapaian SDG’s 2030 dan Kesepakatan Paris 2015 adalah penerbitan Global Green Sukuk sebagai instrumen pembiayaan proyek ramah lingkungan, diantaranya untuk pengelolaan energi dan limbah. Sukuk ini menjadi sukuk hijau global pertama di dunia dan bahkan meraih penghargaan sebagai Islamic Issue of the Year dan SRI Capital Market Issue of the Year dari International Financing Review Asia. Pencapaian yang bernilai ganda, yaitu pelestarian lingkungan dan perluasan pangsa pasar keuangan syariah di tingkat global.
Arah keberpihakan pemerintah dalam program hijau berikutnya adalah mengenai kajian kebijakan penetapan cukai plastik dan tarif PPN khusus industri daur ulang yang sangat dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Dua usulan ini dinilai dapat mengurangi penggunaan plastik dan menjadi stimulus pengembangan ekonomi sirkular.
Diperkenalkan oleh Ellen McArthur Foundation, ekonomi sirkular adalah konsep alternatif dan korektif dari ekonomi linear yang berkontribusi menghasilkan sampah, atau mencakup siklus make-use-dispose dalam berproduksi. Sistem ekonomi sirkular bersifat regeneratif yang mampu menggunakan dan memulihkan potensi material agar tetap memiliki nilai (value) di setiap tahapannya, atau terdapat proses reuse, refurbish, remanufacture danrecycle dalam siklus material pasca produksi.
Salah satu contoh penerapan ekonomi sirkular yang populer adalah usaha daur ulang. Saat ini perhatian dunia industri atau korporasi yang mengembangkan unit usaha daur ulang (Recylcing Business Unit/RBU) masih bisa dihitung dengan jari. RBU dapat didirikan dengan kemitraan berformat Creating Shared Values (CSV), atau saling berbagi nilai antara perusahaan penghasil sampah plastik dan RBU yang dikelola mandiri oleh kelompok masyarakat berbadan hukum, misalnya koperasi. Dalam format CSV, RBU berorientasi laba, atau bukan sekadar tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar (Corporate Social Responsibility/CSR) yang tujuannya hanya untuk mengurangi dampak dari sampah plastik yang dihasilkannya.
Oleh karena masih minimnya RBU dan ekonomi sirkular secara umum, peranan pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan dorongan perkembangannya, salah satunya dapat melalui inovasi instrumen keuangan syariah berbentuk Sukuk Linked Wakaf (SLW). SLW adalah sukuk dengan jaminan (underlying assets) berupa tanah wakaf yang diatasnya didirikan RBU. Adapun skema ringkas SLW adalah bermula dari usulan Badan Wakaf Indonesia (BWI) kepada pemerintah dan pengelola wakaf (Nazhir) untuk tanah yang akan dibangun RBU. Atas dasar tersebut pemerintah c.q. Kemenkeu mengeluarkan SLW yang hasil pengumpulan dananya digunakan untuk membangun RBU. Adapun akad yang sesuai dengan SLW adalah musyarakah, atau akad kerjasama yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko kerugian sesuai kesepakatan.
Operasionalisasi usaha dijalankan oleh masyarakat sebagai Nazhir. Untuk itu, agar dapat dikelola profesional dan berkelanjutan, Nazhir wajib berbadan hukum agar statusnya terdaftar di BWI serta memiliki standar kompetensi profesional untuk pengelolaan RBU. Nazhir wajib menyusun rencana bisnis yang jelas, produk yang berkualitas, target pasar atau konsumen, serta menjalin kemitraan CSV dengan perusahaan penghasil plastik sebagai penyangga rantai pasokan, atau sumber alternatif plastik selain dari sampah di lingkungan. Laba dari usaha RBU dapat dimanfaatkan untuk pembayaran imbal hasil dan pokok sukuk pada saat jatuh tempo atau dapat digunakan untuk membantu pemberdayaan masyarakat, misalnya dana pendidikan yang kedepannya menjadi fokus kebijakan pemerintah.
Tantangan mendasar SLW adalah literasi keuangan syariah masyarakat mengenai wakaf tunai atau wakaf produktif yang masih rendah. Namun animo masyarakat yang besar terhadap sukuk negara dapat menjadi peluang besar, hal ini dibuktikan dengan penerbitan setiap seri Sukuk Tabungan (ST) yang selalu melebihi penawarannya (oversubscribed). Besarnya minat tersebut, terutama investor pemula, retail dan milenial terhadap ST, menjadi dasar pertimbangan konsep SLW untuk RBU dapat berbentuk Sukuk Retail atau ST, karena denominasinya yang relatif terjangkau oleh kalangan tersebut dan jumlah potensi investor yang semakin berkembang.
Selain itu, potensi wakaf yang sangat besar tercermin dari data Kementerian Agama RI per Maret 2016 yang mencatat tanah wakaf berjumlah 435.768 dengan luasan 4.359.443.170 M2. Dari data tersebut, tanah wakaf yang belum dimanfaatkan untuk kepentingan selain sarana peribadatan, diperkirakan masih sangat besar.
Kepemimpinan yang menaruh perhatian pada pengembangan keuangan syariah dan ekonomi sirkular juga terus diperlukan. Dengan demikian, kepercayaan warga negara untuk berpartisipasi dengan berinvestasi di instrumen keuangan syariah, khususnya SLW ini dapat berkembang. Kepemimpinan dalam hal ini tidak hanya di Pemerintah Pusat saja, melainkan juga Pemerintah Daerah (Pemda) yang telah didorong oleh Pemerintah Pusat dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk dapat menerbitkan sukuk daerah. Format SLW dapat diadopsi Pemda sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada dana transfer daerah, terutama Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pada akhirnya yang paling hakiki adalah tumbuhnya pemahaman dan kesadaran bahwa dengan memiliki SLW, masyarakat telah berinvestasi yang memberi manfaat di dunia dan akhirat.
*)tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Discussion about this post