KeuanganNegara.id- Segudang janji dan arah kebijakan pemerintahan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid II akan dipaparkan dalam Sidang Tahunan MPR pada Jumat (16/8) pagi ini. Dalam kesempatan itu juga Jokowi akan memaparkan target asumsi makro ekonomi RAPBN 2020.
Antara lain, pemerintah dan DPR sepakat mematok pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2-5,5 persen. Dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran masing-masing 8,5-9 persen dan 4,8-5,1 persen. Tak ketinggalan, rasio utang akan terus dijaga di kisaran 29,4-30 persen terhadap PDB.
Ekonom sekaligus Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Agus Eko Nugroho menilai target pertumbuhan Jokowi ini lebih realistis ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Khususnya ketika berkampanye pada 2014, di mana perekonomian dibidik sampai kisaran 7 persen.
Kendati begitu, tetap tidak mudah untuk mencapai target tersebut. Soalnya, Indonesia bukan hanya tengah menghadapi masalah di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, yaitu bayang-bayang perlambatan ekonomi global.
Apalagi, cita-cita pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun pun tak pernah tercapai. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,02 persen. Lalu, merosot menjadi 4,79 persen pada 2015, 5,02 persen pada 2016, 5,07 persen pada 2017, dan 5,17 persen pada 2018.
Sementara, sampai semester I 2019, laju ekonomi hanya mencapai 5,06 persen. Padahal, target tahun ini mencapai 5,3 persen. “Laju pertumbuhan ekonomi yang minim tidak bisa membuat angka kemiskinan turun secara signifikan. Karena, income (pendapatan) masyarakat yang tidak meningkat cukup tinggi,” ujarnya.
Menurut Agus, pendapatan tidak meningkat cukup tinggi karena terbatasnya jumlah lapangan kerja formal yang diciptakan pemerintah. Meski, tingkat pengangguran relatif menurun, namun sebagian besar kesempatan kerja masyarakat justru datang dari sektor informal. Misalnya, ojek online hingga perdagangan digital.
Di sisi lain, tingkat pendapatan masyarakat dengan pekerjaan formal pun tidak meningkat cukup tinggi. Rata-rata hanya sesuai dengan laju inflasi. Selain itu, masih banyak pekerja Indonesia yang hanya mendapat upah rendah atau minimal sebatas Upah Minimum Regional (UMR) karena keterbatasan keterampilan.
Kemudian, peningkatan pendapatan di beberapa sektor terbatas karena tertekan perlambatan ekonomi global, terutama dari harga komoditas yang naik turun di pasar internasional.
Padahal, laju industri dan ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas mentah. Walhasil, pertumbuhan industri berbasis komoditas tidak setinggi pertumbuhan industri berbasis jasa.
Begitu juga dengan industri manufaktur yang belakangan terjebak dengan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Lalu, tekanan dari minimnya minat investasi yang masuk ke Indonesia, lantaran kalah bersaing dengan Vietnan, Thailand, dan negara tetangga lain.
Hal ini tak lepas dari minimnya dampak pengembangan industri yang dilakukan pemerintah. Sebab, pemerintah masih fokus mengejar ketertinggalan di bidang infrastruktur dasar, seperti jalan, pelabuhan, dan lainnya. (cnn)
Discussion about this post