[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id -Utang pemerintah terus meningkat setiap tahunnya. Meski demikian, rasio utang dinilai masih aman atau masih di bawah batas maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk lebih jelasnya, berikut fakta-fakta utang pemerintah yang terus meningkat:
Naik Rp 644 Setahun
Total utang pemerintah hingga akhir April 2020 sebesar Rp 5.172,48 triliun. Angka ini naik Rp 644,03 triliun atau 14,22 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 4.528,45 triliun.
Meski demikian, rasio utang pemerintah per akhir bulan lalu sebesar 31,78 persen terhadap PDB.
Secara rinci, utang pemerintah masih didominasi oleh porsi Surat Berharga Negara (SBN) yang tercatat sebesar Rp 4.338,44 triliun atau 83,9 persen dari keseluruhan utang pemerintah. Sementara, utang yang berasal dari pinjaman tercatat sebesar Rp 834,04 triliun atau 16,1 persen dari total utang.
SBN tersebut terdiri dari SBN domestik atau berdenominasi rupiah yang sebesar Rp 3.112,15 triliun. Sedangkan SBN dalam denominasi mata uang asing atau SBN valas tercatat sebesar Rp 1.226,29 triliun.
Sementara utang pemerintah yang berasal dari pinjaman, terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 9,92 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 824,12 triliun.
Penarikan utang baru hingga akhir April 2020 sebesar Rp 223,8 triliun. Realisasi pembiayaan utang per April 2020 itu setara dengan 22,2 persen dari target dalam Perpres 54/2020 yang sebesar Rp 1.006,4 triliun.
Hingga akhir April 2020, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 92,82 triliun atau tumbuh 12,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sudah Diperingatkan BPK
Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP pada laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) selama 2018. Namun demikian, ada beberapa masalah yang disoroti BPK, salah satunya terkait utang pemerintah.
Ketua BPK saat itu, Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, utang pemerintah pusat yang hanya mencapai Rp 4.466 triliun hingga akhir 2018 itu perlu mendapat perhatian. Rasio utangnya pun mencapai 29,81 persen dari PDB.
“Masih di bawah rasio terhadap PDB, tapi kita warning. Ini makin lama makin meningkat,” ujar Moermahadi di Gedung DPR RI, Jakarta.
Selain itu, di tahun ini pun BPK sudah menggarisbawahi persoalan utang pemerintah. Dalam hasil audit, BPK menilai pengelolaan utang pemerintah pusat sejak 2018 hingga kuartal III 2019 kurang efektif.
Salah satu penyebab pengelolaan utang pemerintah yang tak efektif tersebut yakni strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang belum meningkatkan likuiditas pasar SBN secara efektif.
Penerapan kebijakan pengembangan pasar SBN serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid juga dinilai masih memiliki kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan.
BPK juga menilai pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaiannya. Kebijakan dan strategi pengelolaan utang pemerintah yang dituangkan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran belum dapat diukur pencapaiannya.
“Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak selaras dengan pertumbuhan utang, mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai,” tulis laporan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 BPK.
BPK juga menilai terdapat peningkatan belanja bunga utang dan pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing) sepanjang 2014-2019.
“Akibatnya, pencapaian pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak dapat diukur secara memadai dan kesinambungan fiskal dan kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang berpotensi terganggu,” tulisnya.
Tarik Utang Baru Rp 990 Triliun
Pemerintah berencana menerbitkan utang baru sebesar Rp 990,1 triliun untuk periode Juni-Desember 2020. Penerbitan utang tersebut untuk menutup defisit anggaran.
Pemerintah menaikkan defisit fiskal menjadi 6,27 persen terhadap PDB dalam APBN 2020. Defisit tersebut setara dengan Rp 1.028,5 triliun.
Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke DPR, penerbitan utang baru Rp 990,1 triliun tersebut berasal dari penarikan utang melalui penerbitan SBN bruto Rp 1.521,1 triliun, dikurangi realisasi penerbitan SBN hingga 20 Mei 2020 Rp 420,8 dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rp 110,2 triliun.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan, pelebaran defisit menjadi 6,27 persen untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Namun Luky enggan menegaskan mengenai penerbitan utang Rp 990,1 triliun tersebut.
“Pelebaran defisit APBN menjadi 6,27 persen PDB, salah satunya untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN),” kata Luky.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra Kamrussamad mengatakan, belum ada pembicaraan dengan pemerintah mengenai penerbitan utang baru tersebut.
Dia berharap pemerintah bekerja sama dan berdiskusi dengan Komisi XI sebelum mengambil keputusan. Meskipun, dalam Perpres Nomor 1 Tahun 2020 atau PP 54 Tahun 2020 pemerintah diperbolehkan memperlebar defisit tanpa persetujuan DPR.
“Artinya pemerintah mau tiga kali ini ubah defisit, perubahan ketiga. Kami belum dapat penjelasan secara rinci. Harapan kami ya secepatnya. Karena penerbitan Rp 990,1 triliun itu kan belum dapat persetujuan DPR,” tuturnya.(msn)
Discussion about this post