[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
KeuanganNegara.id- Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK SPSI) menilai pelonggaran kebijakan pembayaran THR akan menimbulkan persoalan baru. Dalam hal ini, pengusaha dapat menekan buruh agar bersepakat untuk menunda atau mencicil pembayaran THR dengan ancaman PHK atau perusahaan tutup.
Sebelumnya, kebijakan itu diatur dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pendemi Covid-19.
“Kondisi tersebut akan membuat buruh semakin terpojok dan tertekan dalam kondisi pandemi Covid-19 ini,” ujar Ketua Umum PP FSP TSK SPSI Roy Jinto dalam keterangan resmi.
Di masa pandemi ini, pemerintah seharusnya sudah tahu kondisi buruh banyak yang di-PHK dan dirumahkan dengan upah tidak dibayar secara penuh bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali.
Kebijakan menunda pembayaran THR, menurut Roy, membuka peluang pengusaha untuk menggunakan cara licik di mana mereka hanya cukup membuat laporan keuangan secara internal, bukan berdasarkan audit akuntan publik yang menyatakan ketidakmampuan perusahaan.
“Sudah dapat dipastikan laporan keuangan secara internal perusahaan itu sangatlah mudah dibuat pengusaha dan setelah itu akan menekan buruh untuk menyetujui penundaan pembayaran THR yang diinginkan pengusaha dengan memanfaatkan pandemi Covid-19 dan surat edaran menaker tersebut,” ungkapnya.
Ia juga melihat upaya pengusaha dan pemerintah sama-sama memanfaatkan pandemi Covid-19 ini untuk tidak membayarkan hak-hak buruh sesuai ketentuan yang berlaku.
“Mungkin pemerintah berpikir bahwa buruh tidak akan turun ke jalan menggelar aksi karena ada larangan dari kepolisian dengan berlindung di maklumat Kapolri dan juga karena PSBB. Faktanya, surat edaran Menaker tersebut memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha dengan cara mengorbankan hak-hak buruh,” katanya.
Oleh karena itu, PP FSP TSK SPSI mendesak Menaker untuk segera mencabut surat edaran tersebut dan menegaskan pembayaran THR sesuai dengan ketentuan Permenaker No 6 Tahun 2016.
“Kami pun akan mempersiapkan langkah hukum dan langkah-langkah perjuangan lainnya,” ucap Roy.
Menurut Roy, surat edaran yang dikeluarkan pada 6 Mei tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 7, Pasal 56 PP No 78 Tahun 2015 tentang pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 6 Tahun 2016 tentang Pembayaran THR.
“Dalam ketentuan tersebut jelas disebutkan pengusaha wajib membayar THR kepada pekerja/buruh paling lambat tujuh hari sebelum hari raya, dan pembayaran THR dilakukan secara tunai,” ujarnya.
Selain itu, apabila pengusaha terlambat membayar THR dikenakan sanksi denda 5 persen dari jumlah THR yang menjadi hak pekerja/buruh.
“Maka jelas dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan yang memperbolehkan penundaan dan pencicilan pembayaran THR dengan alasan apapun,” ujarnya.
Roy mengingatkan THR adalah kewajiban pengusaha yang menjadi hak normatif pekerja/buruh bukan pemberian atau hadiah secara sukarela dari pengusaha melainkan kewajiban pengusaha yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.(msn)
Discussion about this post